Oleh: Azis Anwar Fachrudin
Jangan pernah mengira bahwa setiap orang “kembali kepada Quran dan hadis” akan otomatis menghasilkan kesimpulan yang sama. Justru saat seseorang kembali kepada Quran dan hadis, adalah lazim bila terjadi beda tafsir dan pendapat. Berikut ini adalah beberapa contoh kecil beda interpretasi, beda metodologi tafsir, yang kemudian menghasilkan pendapat yang beragam antar mazhab. Pemaparan di bawah ini saya ambil dari al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, karya Syaikh Wahbah az-Zuhaili.
***
Misal pertama, hukum menyentuh (mulâmasah) perempuan non-mahram, apakah membatalkan wudhu? Dalil yang dipakai pendek saja, yakni potongan ayat yang ada dalam QS 4:43 & QS 5:6: aw lâmastum an-nisâ` (atau kalian “menyentuh” perempuan).
Potongan sependek ini ternyata tak kemudian mudah dipahami, sehingga menghasilkan kesimpulan yang sama. Kata “menyentuh” tentu hampir tak memunculkan ragam tafsir bila ia dipahami hanya dalam terjemahannya dalam bahasa Indonesia. Tapi perdebatan ulama pada kata aslinya, yakni apa maksud lâmasa dalam ayat itu, memunculkan setidaknya 3 pendapat.
Menurut mazhab Hanafi, makna mulâmasah adalah bersetubuh, jimak. Menurut mazhab Maliki dan Hanbali, makna mulâmasah adalah menyentuh dengan syahwat. Menurut mazhab Syafi’i, makna mulâmasah adalah menyentuh, baik dengan maupun tanpa syahwat. Inilah tiga pendapat yang muncul hanya dalam beda dalam mengartikan makna lâmasa.
***
Misal kedua, hukum menyentuh mushaf al-Quran bagi yang berhadas kecil. Mayoritas fuqaha berpendapat, haram menyentuh mushaf bagi yang berhadas kecil. Padahal, tidak ada dalil qath’iy yang menunjukkan keharaman menyentuh mushaf bagi yang berhadas kecil. Ayatnya: “la yamassuhû illa al-muthahharûn” (Tidak menyentuhnya (al-Quran) kecuali mereka yang disucikan).
Namun, Ibn ‘Abbas dan mazhab Zaidiyah membolehkan orang berhadas kecil menyentuh mushaf. Dalam tafsiran Ibnu ‘Abbas, kata ganti “hu” dalam ayat itu kembali ke al-Quran di Lauh Mahfuzh, bukan al-Quran yang jadi mushaf, sedangkan “al-muthahharun” adalah malaikat. Jika penafsiran ini dipertentangkan dengan hadis yang berbunyi “la yamassuhu illa thâhirûn” (tidak menyentuhnya kecuali yang suci), maka dalam pendapat Ibn ‘Abbas, kata “thâhirun” itu ditakwil: maksud dari “thâhir” adalah mukmin.
Itulah pendapat Ibn ‘Abbas yang pernah didoakan Nabi dengan “Allahumma faqqihhu fid-dîn wa ‘allimhu at-ta’wîl” (Ya Allah, fahamkan Ibn Abbas tentang agama, dan ajari dia tentang takwil”).
***
Misal ketiga, bagaimana hukum anjing? Menurut Syafi’iyah dan Hanabilah, najis. Menurut Hanafiyah, yang najis cuma mulutnya. Menurut Malikiyah, tidak najis secara mutlak.
Mengapa terjadi perbedaan? Redaksi orisinil hadisnya berbunyi, “idza walagha al-kalb fi inâ`i ahadikum falyaghsilhu sab’a marrât ihdâhunna bit-turâb” (ketika anjing menjilat tempat milikmu, maka basuhlah tujuh kali, salah satunya memakai debu). Perbedaan terjadi pada makna “menjilat” (walagha) itu.
Menurut Syafi’iyah dan Hanabilah, karena air liur jilatan itu berasal dari dalam tubuhnya, maka tubuhnya ikut najis. Bagi Hanafiyah, karena jilatan itu hanya dimulut, dan yang dibasuh adalah tempatnya, maka yang najis hanya mulutnya. Bagi Malikiyah, suruhan membasuh jilatan anjing itu tak ada kaitannya dengan kenajisan anjing. Logika simpelnya sama dengan, misal, ketika seekor burung minum di gelas Anda, tentu akan Anda basuh, dengan alasan kebersihan, dan tak ada hubungannya dengan apakah anjing itu najis atau tidak.
***
Misal keempat, menurut Hanafiyah, boleh membaca takbiratul-ihram dalam salat dengan bahasa selain bahasa Arab. Jadi, tidak harus “Allahu akbar”, yang penting ada lafal “Allah”-nya. Dalilnya QS 87:15, “Wa dzakara-sma rabbihi fashalla”. Sedangkan mazhab lainnya mengharuskan berbahasa Arab. Dalilnya QS 74:3, “Warabbaka fakabbir” Kedua pandangan itu sama-sama berdasar ayat. Kedua ayat itu juga tidak terletak dalam konteks pembicaraan tentang tatacara shalat.
***
Misal kelima, tentang apakah membaca surat al-Fatihah dalam salat itu termasuk rukun salat? Menurut Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah, baca Fatihah dalam salat itu rukun. Salat tak sah tanpa membaca Fatihah. Sedangkan Hanafiyah menyatakan, Fatihah dalam salat bukan rukun. Argumen dari pandangan Hanafiyah ini cukup menarik.
Pertama, dalil Hanafiyah adalah QS 73:20, “Faqra’û mâ tayassara min al-Qur’ân” (bacalah yang mudah dari al-Quran). Jadi, tak harus Fatihah. Kedua, hadis yang menyatakan Fatihah itu rukun adalah hadits ahad, sehingga bersifat “zhanniyyul-wurud” (transmisinya spekulatif). Sementara dalam epistemologi mazhab Hanafi, hadis ahad tidak bisa dijadikan hujjah untuk ibadah yang dasarnya dalil qath’iy & mutawatir, seperti salat. Ketiga, hadis yang menyatakan Fatihah adalah rukun itu bunyinya: “La shalâta liman lam yaqra’ bi fâtihah al-kitâb” (tiada salat bagi yang tak membaca al-fatihah). Redaksi “tiada salat” itu dipahami “tidak (sempurna) salat” oleh Hanafiyah, bukan “tidak (sah) salat”, sebagaimana dipahami mazhab selain Hanafiyah.
***
Perbedaan pandangan itu niscaya. Jangankan di antara yang beda mazhab, di internal mazhab yang masih sama-sama Islam juga tak terhindarkan dari perbedaan pendapat. Masing-masing yang berbeda juga berdasar pada Quran dan Sunnah.
Di internal mazhab ilmu kalam Asy’ari misalnya, antara Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari (pendiri Asy’ariyah) dengan Asya’irah (pengikut Asy’ariyah) bisa berbeda. Antara Abu Manshur al-Maturidi dengan Maturidiyah bisa berbeda. Antara Maturidiyah sendiri pun ada Maturidiyah-Bukhara dan Maturidiya-Samarkand.
Di internal mazhab fikih Hanafi, misalnya, antara Abu Hanifah dengan Abu Yusuf dan Muhammad ibn al-Hasan asy-Syaibani (kedua murid Abu Hanifah) bisa berbeda. Antara Imam Malik dengan Malikiyah bisa berbeda. Antara Ahmad ibn Hanbal dengan Hanabilah bisa berbeda.
Antara Imam asy-Syafi’i dengan Syafi’iyah bisa beda. Ada Syafi’yah-Hijazi yang cenderung leterlek, ada Syafi’iyah-Iraqi yang cenderung rasionalis. Dalam menentujkan keunggulan (tarjîh) pendapat dalam internal mazhab Syafi’iyah, ada yang ikut ke Imam Nawawi, ada yang ikut ke imam ar-Rafi’i.
Jangankan antara orang yang berbeda, di dalam diri orang yang sama bisa kita dapati revisi pendapat. Bagi yang mempelajari fikih mazhab Syafi’i tentu tahu, bahwa Asy-Syafi’i punya pendapat-pendapat lama (qaul qadim) saat masih di Baghdad, dan pendapat-pendapat baru (qaul jadid) setelah berada di Mesir hingga wafatnya.
***
Dari beberapa contoh itu, kita tahu, beda pendapat itu suatu hal yang lazim sekali, bahkan niscaya akan selalu terjadi. Poin dari tulisan ini: nash al-Quran dan hadis itu tak bisa bicara sendiri. Al-Quran dan as-Sunnah itu mengikuti orang yang membacanya, orang yang menafsirkannya. “Al-Qur`ân masthûrun baina daffatain la yanthiq wainnama yatakallamu bihi ar-rijâl,” kata Sayyidina ‘Ali kepada kaum Khawarij, seperti yang ternukil dalam Tarikh ath-Thabari, “Al-Quran itu terbubuh di antara dua sampul. Ia tak bicara. Para penafsirnyalah yang berbicara melaluinya.”
Jangan pernah mengira bahwa setiap orang “kembali kepada Quran dan hadis” akan otomatis menghasilkan kesimpulan yang sama. Justru saat seseorang kembali kepada Quran dan hadis, adalah lazim bila terjadi beda tafsir dan pendapat. Berikut ini adalah beberapa contoh kecil beda interpretasi, beda metodologi tafsir, yang kemudian menghasilkan pendapat yang beragam antar mazhab. Pemaparan di bawah ini saya ambil dari al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, karya Syaikh Wahbah az-Zuhaili.
***
Misal pertama, hukum menyentuh (mulâmasah) perempuan non-mahram, apakah membatalkan wudhu? Dalil yang dipakai pendek saja, yakni potongan ayat yang ada dalam QS 4:43 & QS 5:6: aw lâmastum an-nisâ` (atau kalian “menyentuh” perempuan).
Potongan sependek ini ternyata tak kemudian mudah dipahami, sehingga menghasilkan kesimpulan yang sama. Kata “menyentuh” tentu hampir tak memunculkan ragam tafsir bila ia dipahami hanya dalam terjemahannya dalam bahasa Indonesia. Tapi perdebatan ulama pada kata aslinya, yakni apa maksud lâmasa dalam ayat itu, memunculkan setidaknya 3 pendapat.
Menurut mazhab Hanafi, makna mulâmasah adalah bersetubuh, jimak. Menurut mazhab Maliki dan Hanbali, makna mulâmasah adalah menyentuh dengan syahwat. Menurut mazhab Syafi’i, makna mulâmasah adalah menyentuh, baik dengan maupun tanpa syahwat. Inilah tiga pendapat yang muncul hanya dalam beda dalam mengartikan makna lâmasa.
***
Misal kedua, hukum menyentuh mushaf al-Quran bagi yang berhadas kecil. Mayoritas fuqaha berpendapat, haram menyentuh mushaf bagi yang berhadas kecil. Padahal, tidak ada dalil qath’iy yang menunjukkan keharaman menyentuh mushaf bagi yang berhadas kecil. Ayatnya: “la yamassuhû illa al-muthahharûn” (Tidak menyentuhnya (al-Quran) kecuali mereka yang disucikan).
Namun, Ibn ‘Abbas dan mazhab Zaidiyah membolehkan orang berhadas kecil menyentuh mushaf. Dalam tafsiran Ibnu ‘Abbas, kata ganti “hu” dalam ayat itu kembali ke al-Quran di Lauh Mahfuzh, bukan al-Quran yang jadi mushaf, sedangkan “al-muthahharun” adalah malaikat. Jika penafsiran ini dipertentangkan dengan hadis yang berbunyi “la yamassuhu illa thâhirûn” (tidak menyentuhnya kecuali yang suci), maka dalam pendapat Ibn ‘Abbas, kata “thâhirun” itu ditakwil: maksud dari “thâhir” adalah mukmin.
Itulah pendapat Ibn ‘Abbas yang pernah didoakan Nabi dengan “Allahumma faqqihhu fid-dîn wa ‘allimhu at-ta’wîl” (Ya Allah, fahamkan Ibn Abbas tentang agama, dan ajari dia tentang takwil”).
***
Misal ketiga, bagaimana hukum anjing? Menurut Syafi’iyah dan Hanabilah, najis. Menurut Hanafiyah, yang najis cuma mulutnya. Menurut Malikiyah, tidak najis secara mutlak.
Mengapa terjadi perbedaan? Redaksi orisinil hadisnya berbunyi, “idza walagha al-kalb fi inâ`i ahadikum falyaghsilhu sab’a marrât ihdâhunna bit-turâb” (ketika anjing menjilat tempat milikmu, maka basuhlah tujuh kali, salah satunya memakai debu). Perbedaan terjadi pada makna “menjilat” (walagha) itu.
Menurut Syafi’iyah dan Hanabilah, karena air liur jilatan itu berasal dari dalam tubuhnya, maka tubuhnya ikut najis. Bagi Hanafiyah, karena jilatan itu hanya dimulut, dan yang dibasuh adalah tempatnya, maka yang najis hanya mulutnya. Bagi Malikiyah, suruhan membasuh jilatan anjing itu tak ada kaitannya dengan kenajisan anjing. Logika simpelnya sama dengan, misal, ketika seekor burung minum di gelas Anda, tentu akan Anda basuh, dengan alasan kebersihan, dan tak ada hubungannya dengan apakah anjing itu najis atau tidak.
***
Misal keempat, menurut Hanafiyah, boleh membaca takbiratul-ihram dalam salat dengan bahasa selain bahasa Arab. Jadi, tidak harus “Allahu akbar”, yang penting ada lafal “Allah”-nya. Dalilnya QS 87:15, “Wa dzakara-sma rabbihi fashalla”. Sedangkan mazhab lainnya mengharuskan berbahasa Arab. Dalilnya QS 74:3, “Warabbaka fakabbir” Kedua pandangan itu sama-sama berdasar ayat. Kedua ayat itu juga tidak terletak dalam konteks pembicaraan tentang tatacara shalat.
***
Misal kelima, tentang apakah membaca surat al-Fatihah dalam salat itu termasuk rukun salat? Menurut Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah, baca Fatihah dalam salat itu rukun. Salat tak sah tanpa membaca Fatihah. Sedangkan Hanafiyah menyatakan, Fatihah dalam salat bukan rukun. Argumen dari pandangan Hanafiyah ini cukup menarik.
Pertama, dalil Hanafiyah adalah QS 73:20, “Faqra’û mâ tayassara min al-Qur’ân” (bacalah yang mudah dari al-Quran). Jadi, tak harus Fatihah. Kedua, hadis yang menyatakan Fatihah itu rukun adalah hadits ahad, sehingga bersifat “zhanniyyul-wurud” (transmisinya spekulatif). Sementara dalam epistemologi mazhab Hanafi, hadis ahad tidak bisa dijadikan hujjah untuk ibadah yang dasarnya dalil qath’iy & mutawatir, seperti salat. Ketiga, hadis yang menyatakan Fatihah adalah rukun itu bunyinya: “La shalâta liman lam yaqra’ bi fâtihah al-kitâb” (tiada salat bagi yang tak membaca al-fatihah). Redaksi “tiada salat” itu dipahami “tidak (sempurna) salat” oleh Hanafiyah, bukan “tidak (sah) salat”, sebagaimana dipahami mazhab selain Hanafiyah.
***
Perbedaan pandangan itu niscaya. Jangankan di antara yang beda mazhab, di internal mazhab yang masih sama-sama Islam juga tak terhindarkan dari perbedaan pendapat. Masing-masing yang berbeda juga berdasar pada Quran dan Sunnah.
Di internal mazhab ilmu kalam Asy’ari misalnya, antara Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari (pendiri Asy’ariyah) dengan Asya’irah (pengikut Asy’ariyah) bisa berbeda. Antara Abu Manshur al-Maturidi dengan Maturidiyah bisa berbeda. Antara Maturidiyah sendiri pun ada Maturidiyah-Bukhara dan Maturidiya-Samarkand.
Di internal mazhab fikih Hanafi, misalnya, antara Abu Hanifah dengan Abu Yusuf dan Muhammad ibn al-Hasan asy-Syaibani (kedua murid Abu Hanifah) bisa berbeda. Antara Imam Malik dengan Malikiyah bisa berbeda. Antara Ahmad ibn Hanbal dengan Hanabilah bisa berbeda.
Antara Imam asy-Syafi’i dengan Syafi’iyah bisa beda. Ada Syafi’yah-Hijazi yang cenderung leterlek, ada Syafi’iyah-Iraqi yang cenderung rasionalis. Dalam menentujkan keunggulan (tarjîh) pendapat dalam internal mazhab Syafi’iyah, ada yang ikut ke Imam Nawawi, ada yang ikut ke imam ar-Rafi’i.
Jangankan antara orang yang berbeda, di dalam diri orang yang sama bisa kita dapati revisi pendapat. Bagi yang mempelajari fikih mazhab Syafi’i tentu tahu, bahwa Asy-Syafi’i punya pendapat-pendapat lama (qaul qadim) saat masih di Baghdad, dan pendapat-pendapat baru (qaul jadid) setelah berada di Mesir hingga wafatnya.
***
Dari beberapa contoh itu, kita tahu, beda pendapat itu suatu hal yang lazim sekali, bahkan niscaya akan selalu terjadi. Poin dari tulisan ini: nash al-Quran dan hadis itu tak bisa bicara sendiri. Al-Quran dan as-Sunnah itu mengikuti orang yang membacanya, orang yang menafsirkannya. “Al-Qur`ân masthûrun baina daffatain la yanthiq wainnama yatakallamu bihi ar-rijâl,” kata Sayyidina ‘Ali kepada kaum Khawarij, seperti yang ternukil dalam Tarikh ath-Thabari, “Al-Quran itu terbubuh di antara dua sampul. Ia tak bicara. Para penafsirnyalah yang berbicara melaluinya.”
Posting Komentar untuk "Beda Pendapat Itu Lazim"