Saat Ibrahim Melunasi Perintah Tuhan

Oleh: Anies Baswedan

Entah apa jadinya bila sebagai ayah Ibrahim berbohong, egois, tak berintegritas, tak beriman, dan melakukan korupsi? Akankah Ismail menyerahkan lehernya untuk dipotong Ibrahim demi melunasi perintah Tuhan? Rasanya, kemungkinannya amat kecil.

Apalagi saat perintah Tuhan turun kepada Ibrahim usia Ismail belasan tahun. Ismail telah remaja dan mampu bekerja. Bisa dipastikan, ia sudah bisa berpikir kritis. Bagaimana mungkin seorang anak yang mampu berpikir kritis mengiyakan begitu saja perintah yang justru akan menghilangkan nyawanya. Ia tentu akan mencernanya terlebih dahulu, apalagi ia putra Ibrahim.

Ibrahim, kita tahu, adalah nabi yang pada masa mudanya dipenuhi keingintahuan banyak hal, termasuk soal ketuhanan. Berkat penelaahan mendalam atas peristiwa-peristiwa alam dan penggunaan nalarnya ia berkesimpulan bahwa Tuhan itu esa. Sejak itu namanya kerap dikaitkan dengan agama-agama samawi dan disebut sebagai bapak tauhid. Dari sini tampak bahwa Ibrahim adalah seseorang yang selalu menggunakan akal sehatnya dalam bertindak. Bahkan, Tuhan perlu menurunkan perintah-Nya kepada Ibrahim sampai tiga kali. Ibrahim tentu telah menelaah secara mendalam perintah ini. Dengan jejak sejarah ini, sungguh janggal bila Ibrahim memutuskan akan melunasi perintah Tuhannya tanpa melalui pertimbangan matang.

Kita tentu bisa membayangkan hubungan Ibrahim dan Ismail ini; ayah dan anak ini terbiasa berpikir kritis. Buktinya, dialog; berpikir kritis mensyarakatkan dialog. Dan Al-Quran surat al-Shaffat ayat 102 mencatat dialog keduanya.

“Hai anakku, sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Pikirkanlah, bagaimana pendapatmu?” tanya Ibrahim.

“Wahai ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang sabar,” jawab Ismail. “Wahai ayahku, ikatlah tubuhku dengan kuat. Kencangkan tali ikatannya agar aku tidak meronta. Singkapkan pakaianku agar tidak ada darah yang mengenai dan membasahinya. Asahlah pisaumu setajam-tajamnya. Sembelihlah aku dengan cepat agar terasa lebih ringan bagiku, karena kematian itu pasti sangat keras dan menyakitkan.” Sedih, Ibrahim lalu memeluk Ismail dengan erat dan berkata, “Anakku Ismail, sesungguhnya engkau sebaik-baik penolong dalam melaksanakan perintah Allah.”

Ketika mereka berdua berjalan menuju tempat penyembelihan, iblis menggoda mereka. Iblis adalah makhluk penuh tipu daya. Dan untuk lolos dari tipu daya itu tentu perlu pemikiran kritis. Dengan kebiasaan mereka berpikir kritis, terbukti mereka berhasil mengalahkan tipu daya Iblis. Tak puas, Iblis lalu mendatangi Hajar, istri Ibrahim sekaligus ibunda Ismail, dan berniat menipunya. Tapi Iblis pun gagal.

Sementara itu, ketika hendak disembelih Ismail menyarankan kepada Ibrahim agar, “Turunkan wajahku ke tanah, sehingga ayah tidak melihat wajahku saat itu lalu timbul kasih sayang kepadaku. Tajamkan pisau itu, Ayah, dan jangan ceritakan ini semua kepada ibu.”

Ismail sudah berserah diri dan pisau menempel di lehernya ketika datang wahyu, “Wahai Ibrahim! Sungguh, engkau telah membenarkan mimpi itu.” Dan Jibril mengganti Ismail dengan seekor kambing yang sehat dan gemuk.

Keluarga Teladan
Kisah ini sangat berharga bagi kita. Bukan peristiwa mengorbankan Ismail diganti dengan kambingnya, tapi dialog dan kekuatan ketaatan dan pikiran Ibrahim, Hajar, dan Ismail. Pesan penting Idul Adha bukan hanya mengirimkan berapa ratus juta, berapa ratus kambing, atau berapa puluh sapi. Juga bukan cuma soal membagikan daging. Idul Adha adalah kisah tentang sebuah keluarga teladan.

Idul Adha adalah kisah keberhasilan Ibrahim dan Hajar membangun keluarga beriman dan bertakwa. Meski berat, perintah penyembelihan itu mereka taati. Lihat efeknya kini; peristiwa itu terjadi pada ribuan tahun lalu, namun hingga kini orang tetap merayakannya, mengingatnya. Dalam shalat pun, kita diwajibkan uluk salam kepada Ibrahim dan keturunannya. Nama mereka langgeng, harum semerbak dalam peradaban manusia. Betapa dahsyat kekuatan teladan sebuah keluarga.

Dalam banyak hal, Ismail tentu mendapatkan banyak teladan dari Ibrahim. Ia melihat Ibrahim sebagai seseorang yang memang tak memiliki kepentingan terhadap diri sendiri. Ibrahim bekerja melayani masyarakat, memberikan pencerahan kepada banyak orang dengan ceramah dan dakwahnya. Hampir semua titik di Timur Tengah pernah Ibrahim kunjungi. Jika tak melihat teladan Ibrahim, dengan pikiran kritisnya Ismail tentu bisa mengajukan gugatan, ”Memangnya apa yang telah ayah lakukan untuk Tuhan sehingga mau mengorbankan anak ayah yang telah lama ayah idamkan ini?”

Pada titik inilah makna Idul Adha mendapatkan tempat dalam konteks bangsa kita. Saat ini republik Indonesia membutuhkan generasi yang mau berkorban memikirkan masa depan, mau melepas cita-cita pribadi mereka demi tujuan yang lebih besar dan mulia.

Namun, untuk mencetak generasi tersebut diperlukan teladan dari orang tua. Kita simak teladan Ibrahim terhadap Ismail. Sebagai orang tua Ibrahim tahu apa yang benar, tapi ia bicarakan dan dan konsultasikan kepada anaknya. Ibrahim tidak serta-merta menyembelih Ismail; Ibrahim tidak memaksakan pendapatnya, tapi melatih sikap berdialog, sikap tukar pikiran dengan Ismail. Dan, ada yang tersembunyi di sini: Ibrahim membekali anaknya dengan iman, takwa, dan kesalehan, sehingga ketika terjadi dialog, seorang anak pun justru memberikan wasiat kepada orang tuanya.

Selain itu, Ismail ini banyak ditinggal Ibrahim. Ibunyalah yang paling berperan besar dalam pembentukan karakter Ismail. Ketika Ibrahim tak berada di samping mereka, Hajar menjadi sosok perempuan mandiri, tegar, dan menghadirkan sosok ayah kepada Ismail lewat cerita-cerita teladan sang ayah. Ismail bersedia dikorbankan karena memang tahu bahwa Ibrahim mengorbankan dirinya untuk umat, untuk masyarakat, sepanjang masa hidupnya.

Pelajaran penting bagi kita, bila kita berharap anak-anak dan keluarga seperti Ibrahim, anak-anak seperti Ismail, maka sebagai orang tua kita harus mulai memberikan contoh, memberikan teladan. Bila kita perhatikan pendidikan di Indonesia, kita sering memberikan perhatian lebih kepada sekolah; sekolah dipandang sebagai tempat ideal untuk mendidik anak. Yang kita lupa, sebenarnya, pendidik penting dan utama adalah orang tua. Namun, ironisnya, justru orang tualah pendidik yang tak tersiapkan.
Mestinya pendidikan karakter itu untuk orang tua dan guru, bukan untuk anak-anak. Mereka lantas mempraktikkannnya dan anak-anak belajar dari mereka. Kalau ayah dan ibunya tak bangun subuh, jangan harap anaknya bangun subuh; jika orang tuanya tak shalat maghrib berjamaah, jangan harap anak bisa shalat maghrib berjamaah.

Dalam konteks bernegara, kita mendapatkan teladan dari para pendiri bangsa. Bayangkan bila Soekarno dan Mohammad Hatta memilih tidak berkorban. Soekarno seorang insinyur di negeri yang saat itu hampir seratus persen penduduknya buta huruf. Hatta mendapatkan doktorandus di Belanda ketika mayoritas penduduk negerinya tak bisa membaca. Begitu juga para pendiri republik ini lainnya. Mereka memiliki seluruh persyaratan untuk hidup tenteram, sejahtera, nyaman, dan kaya raya. Tapi apa yang mereka lakukan? Mereka memilih jalan sulit. Mereka pilih berjuang demi kemerdekaan, walaupun ongkosnya adalah kebebasan dan kenyamanan mereka.

Dan hari ini kita mereguk manfaat korban para pendiri republik ini. Maka, bila hari ini kita hanya menghasilkan generasi yang hanya memikirkan diri sendiri, memikirkan kepentingan dirinya, keluarganya, maka tradisi berkorban para pendiri republik ini akan berhenti saat ini juga.

Sungguh beruntung Ismail. Ia mendapatkan teladan dari kedua orang tuanya, Hajar dan Ibrahim. Dari sini kita bisa paham kenapa Ismail mau menyerahkan lehernya untuk dikorbankan Ibrahim: karena sebagai seorang ayah Ibrahim jujur, altruis, berintegritas, beriman secara total, dan tidak korupsi.

Posting Komentar untuk "Saat Ibrahim Melunasi Perintah Tuhan"