Mi'raj

Kalau kita mengkaji sejarah tentang Isra dan Mi’raj Rasulullah saw, kita akan tahu bahwa sebelum peristiwa itu terjadi, ada dua hal yang membuat Rasulullah sangat sedih. Lho, Rasulullah sedih? Iya! Itu merupakan dimensi kemanusiaan Rasulullah saw. Sesungguhnya Rasulullah juga manusia biasa seperti kita, bedanya beliau diberi wahyu sedangkan kita tidak (QS 18:110). Apa yang membuat beliau sedih? Yang pertama adalah kematian istri yang paling dicintainya, Siti Khadijah. Kita tahu bahwa Siti Khadijah adalah seorang istri yang mendukung dakwah rasulullah terutama melalui bidang ekonomi. Jadi pada saat beliau masih hidup, selain kasih sayang seorang istri yang tentunya diberikan oleh Khadijah, beliau juga membantu biaya yang dibutuhan Rasulullah dalam dakwah. Bukti bahwa Rasulullah saw. Sangat mencintai Khadijah adalah beliau tidak berpoligami selama Khadijah masih hidup. Aneh kan! Padahal waktu itu di kalangan kaum lelaki arab, poligami adalah sesuatu yang sangat lumrah, bahkan mungkin kalau Rasul mau, Khadijah pun akan senang hati untuk di madu. Tapi ternyata tidak, Rasulullah saw tetap monogami bersama Khadijah. Maka tidak heran kalau Prof. Dr. Ahmad Syalabi berpendapat bahwa pernikahan yang benar-benar disunnahkan Rasulullah atau prinsip dasar pernikahan dalam Islam adalah monogami. Poligami yang dilakukan Rasul baru dilakukan setelah Khadijah wafat itupun karena motif politik, strategi dakwah, dan melindungi janda-janda agar tidak terlantar. Terbukti bahwa Rasulullah bukan berpoligami berdasarkan hawa nafsu, akan tetapi situasilah yang mengharuskan beliau seperti itu. Lalu satu lagi yang membuktikan bahwa Khadijah adalah istri yang paling dicintai Rasulullah adalah setelah meninggalnya pun, beliau masih suka menyebut-nyebut dan menceritakan perihal beliau kepada istri-istrinya. Sehingga Aisyah sering dibuat cemburu mendengarnya. Nah, sekarang bayangkan kalau orang yang paling dicintai kawan-kawan meninggal, apa yang dirasakan, mungkin hampir frustasi atau rasa sedih yang mendalam, nah Rasulullah juga sama.

Yang kedua, kematian pamannya Abu Thalib. Seperti yang kita ketahui, paman Rasul yang satu ini, benar-benar sangat berjasa terhadap Rasulullah saw. Kalau tadi Khadijah menopang dakwah Rasul dari segi ekonomi, nah Abu Thalib ini menopang dakwah Rasulullah dari segi politik. Beliaulah yang mengasuh Rasulullah setelah ditinggal ibu dan kakeknya serta mendidiknya menjadi pedagang yang sukses.Beliaul juga yang terus membela Rasulullah bahkan sampai berani untuk pasang badan menghadapi lobi-lobi kaum musyrik quraisy untuk menghentikan dakwah Rasulullah saw. Tak lama setelah kematian Khadijah, Abu Thalib pun wafat. Rasulullah kehilangan 2 penopang utama dalam kegiatan dakwahnya. Maka tidak heran, kalau gangguan dan teror kaum musyrik quraisy, semakin menjadi-jadi setelah kematian 2 orang itu. Padahal, ketika masih ada mereka berdua, belum pernah Rasulullah berdakwah dalam keadaan seberat itu. Oleh para ulama tahun tersebut terkenal dengan ‘aamul huzni (tahun kesedihan).

Nah, sekarang coba kita bayangkan, kalau kita menjadi seseorang yang sangat mengidolakan presiden. Kemudian tiba-tiba, kita mendapat surat yang berisi bahwa kita diundang oleh presiden untuk datang menemuinya di istana negara. Bagaimana perasaan kita? Insya Allah pasti senang! Bahkan kalau dalam keadaan sedih, maka kita akan terhibur karenanya. Nah, Rasulullah pun seperti itu, saat beliau berada pada puncak kesedihan, datanglah undangan Allah zat yang paling dirindukan dan dicintai beliau melalui malaikat Jibril. Lalu Allah pun mengisra kan beliau dari masjidil haram ke masjidil aqsha. (QS. 17:1) di tengah perjalanan, Allah memperlihatkan kepada beliau nabi-nabi sebelumnya. Nabi Musa yang diuji dengan kekejaman Firaun, Nabi Ayyub yang diuji dengan penyakit, Nabi Nuh yang terus menerus ditentang kaumnya. Seolah-olah Allah ingin mengatakan: ”Wahai Muhammad, Kamu baru diuji dengan kematian Khadijah dan Abu Thalib sudah sedih, Lihat tuh Nabi Musa, dia mah dikejar-kejar Firaun! Nabi Ayyub, dia mah ditimpa penyakit yang sangat parah! Nabi Nuh, dia berdakwah hampir seribu tahun, tapi pengikutnya Cuma sedikit.”. Setelah diperlihatkan semua itu, menjadi lapanglah hati Rasulullah saw. (QS. 94:1-8).Maka dari itu kawan-kawan, peristiwa isra mi’raj mengajarkan kepada kita bahwa, salah satu metode menghilangkan kesedihan adalah, lihatlah orang-orang yang lebih menyedihkan dari kita. Misalnya, kalau kita sakit gigi di rumah, pasti kerasanya sedih banget ya! Soalnya kita sendiri yang sakit. Nah, cobalah jalan-jalan ke rumah sakit, lihat orang yang lebih parah penyakitnya dari sakit gigi kita, Insya Allah rasa sedih kita akan menurun.

Setelah sampai di Mesjid Al Aqsha, Allah swt. Memi’rajkan Rasulullah saw. Ke Sidratul Muntahaa. Apa itu sidrah? Yang saya ketahui, sidrah adalah nama putri pertama pasangan ustadz Nail dan ustadzah Marhani, tapi bukan itu. Menurut Mohammad Ali (bukan petinju) penulis tafsir The Holy Koran yang dikutip oleh Cak Nur, Sidrah adalah sejenis pohon lotus (teratai). Pohon lotus ini, dalam tradisi padang pasir merupakan perlambang dari kebijaksanaan dan ketenangan. Saya kira, dalam tradisi buddha pun seperti itu, soalnya kalau menonton film kera sakti, saya lihat dewi kwan im bersemayam di atas pohon lotus. Kalau sidrah adalah perlambang ketenangan, Al muntahaa artinya yang paling akhir. Jadi sidratul muntahaa adalah sebuah tempat dimana Rasulullah merasakan ketenangan yang sangat sangat luar biasa.Para sufi menyebut keadaan ini sebagai wihdatul wujud, atau keadaan dimana kita sangat dekat dengan Allah sampai-sampai merasa seolah-olah manyatu dengan Allah.Namun saya tidak menyebut bahwa keadaan Rasulullah sama dengan keadaa para sufi, hanya mirip-mirip lah seperti itu. Kata syaikh Abdul Quddus seorang sufi asal sungai gangga yang dikutip oleh Sir Muhammad Iqbal mengatakan: “Demi Allah kalau seandainya aku mengalami mi’raj seperti Rasulullah, maka aku tidak mau kembali ke dunia ini”. Hal tersebut disebabkan saking tenang dan enaknya saat itu. Maka tidak heran kalau dalam khazanah Islam, ada sekelompok orang yang menempuh jalan spiritual tertentu untuk mencapai keadaan itu. Dan ketika telah sampai dalam keadaan tadi, maka seolah-olah mereka lupa sama sekali akan dunia ini. Tapi itulah bedanya Rasulullah dengan manusia biasa, kalau manusia biasa, ketika mengalami pengalaman spiritual seperti Rasul, mereka tidak mau kembali ke dunia, sedangkan Rasulullah, setelah dimikrajkan, beliau pun turun kembali ke dunia untuk berjibaku menegakan agama Allah.Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Allah mengisra dan mikrajkan Rasulullah sebagai refreshing spiritual sekaligus mensetting kembali keadaan jiwa Rasulullah sehingga benar-benar siap mengubah peradaban dunia. Maka hijrah pun terjadi setelah isra dan mi’raj, dan hijrah ini lah awal perkembangan pesat dakwah Rasulullah saw.

Posting Komentar untuk "Mi'raj"