Dalam masyarakat Indonesia selain
dari kata Agama, dikenal pula kata din dari bahasa Arab dan kata religi
dari bahasa Eropa. Agama berasal dari bahasa Sanskrit. Satu pendapat
mengatakan bahwa kata itu tersusun dari dua kata, a berarti tidak, dan gam
berarti pergi, jadi tidak pergi, tetap di tempat, diwarisi turun temurun. Agama
memang mempunyai sifat yang demikian. Din dalam bahasa Semit berarti
undang-undang atau hukum. Dalam bahasa Arab kata ini mengandung arti menguasai,
menundukan, patuh, balasan, kebiasaan. Agama memang membawa peraturan-peraturan
yang merupakan hukum, yang harus dipatuhi orang. Agama selanjutnya memang
menguasai diri seseorang dan membuat ia tunduk dan patuh kepada Tuhan dengan
menjalankan ajaran-ajaran Agama. Religi berasal dari bahasa latin.
Menurut satu pendapat asalnya ialah relegere yang mengandung arti
mengumpulkan, membaca. Agama memang merupakan kumpulan cara-cara menganbdi
kepada Tuhan. Ini terkumpul dalam kitab suci yang harus dibaca.
Unsur-unsur penting yang terdapat
dalam Agama ialah:
1.
Kekuatan Gaib : Manusia merasa dirinya lemah dan
berhajat pada kekuatan gaib itu sebagai tempat minta tolong. Oleh karena itu
manusia merasa harus mengadakan hubungan baik dengan kekuatan gaib tersebut.
Hubungan baik ini dapat diwujudkan dengan mematuhi perintah dan larangan
kekuatan gaib itu.
2.
Keyakinan bahwa kesejahteraannya di dunia ini
dan hidupnya di akhirat tergantung pada adanya hubungan baik dengan kekuatan
gaib yang dimaksud. Dengan hilangnya hubungan baik tersebut, kesejahteraan akan
hilang pula.
3.
Respon yang bersifat emosional dari manusia.
Respon itu bisa mengambil bentuk perasaan takut seperti yang terdapat dalam
agama-agama primitive, atau perasaan cinta seperti yang terdapat dalam
agama-agama monoteisme.
4.
Faham adanya yang kudus (sacred) dan suci,
dalam bentuk kekuatan gaib, kitab atau tempat-tempat tertentu.
Agama ada yang bersifat primitive
dan ada pula yang dianut oleh masyarakat yang telah meninggalkan fase
keprimitifan. Agama yang terdapat dalam masyarakat prmitif adalah dinamisme,
animisme dan politeisme.
Agama dinamisme mengandung
kepercayaan pada kekuatan gaib yang misterius. Dalam faham ini, ada benda-benda
tertentu yang mempunyai kekuatan gaib dan berpengaruh pada kehidupan manusia
sehari-hari.Kekuatan itu ada yang bersifat baik ada yang bersifat jahat. Benda
yang mempunyai kekuatan gaib disenangi, dipakai dan dimakan agar orang yang
memakai atau memakannya senantiasa dilindungi oleh kekuatan gaib yang terdapat
di dalamnya. Benda yang mempunyai kekuatan gaib jahat ditakuti karena itu harus
dijauhi. Kekuatan gaib tersebut tidak mengambil tempat yang tetap, tapi
berpindah dari satu tempat ke tempat lain.
Kekuatan gaib tersebut tidak dapat
dilihat, namun hanya dapat dilihat efeknya. Contoh kesuburan tanah, rindangnya
pohon, panjangnya umur dll. Kalau efek tersebut telah hilang dari tanah, pohon
dan orang, benda yang dianggap punya kekuatan gaib tersebut dianggap telah
hilang kekuatannya dan tidak dihargai lagi. Dalam bahasa ilmiah, kekuatan gaib
itu disebut mana dan dalam bahasa Indonesia disebut tuah atau sakti.
Dalam masyarakat kita orang masih menghargai barang-barang yang dianggap
bertuah seperti keris, batu cincin, dll. Dalam faham dinamisme, bertambah mana
berarti bertambah jauh dari bahaya, dan bertambah selamat hidupnya. Kehilangan mana
berarti maut. Oleh karena itu tujuan beragama dalam agama Dinamisme adalah
mengumpulkan mana sebanya mungkin.
Dalam masyarakat primitive, terdapat
dukun atau ahli sihir, dan mereka inilah yang dianggap dapat mengontrol dan
menguasai mana yang beraneka ragam itu. Mereka dianggap dapat membuat mana
pindah dari satu tempat ke tempat lain yang mereka tentukan. Biasanya mana
tersebut disimpan di benda-benda
kecil yang mudah diikatkan ke anggota badan dan dibawa kemana-mana. Benda-benda
serupa ini disebut fetish atau di Indonesia lebih dikenal dengan jimat.
Animisme adalah agama yang
mengajarkan bahwa tiap-tiap benda baik yang bernyawa maupun tidak bernyawa
mempunyai roh. Roh dalam masyarakat primitive belum mengambil bentuk roh dalam
faham yang lebih maju. Bagi masyarakat primitive, roh masih tersusun dari
materi yang sangat halus seperti uap atau udara. Bagi masayarakat penganut
animism, roh mempunyai rupa, umumnya berkaki dan bertangan, mempunyai umur dan
perlu terhadap makanan. Mereka mempunyai tingkah laku seperti manusia,
umpamanya pergi berburu, menari dan menyanyi. Terkadang roh dapat dilihat,
walaupun ia tersusun dari materi yang sangat halus. Roh yang menurut mereka
menunggu benda-benda tertentu seperti hutan yang lebat, danau yang dalam,
sungai yang deras, pohon besar yang rindang, itulah yang dihormati dan
ditakuti. Kepada roh-roh serupa ini diberikan sesajen dalam bentuk binatang,
kembang, makanan dsb. Roh nenek moyang juga menjadi objek yang ditakuti dan
dihormati.
Tujuan beragama dalam animisme
adalah mengadakan hubungan baik dengan roh-roh yang ditakuti dan dihormati itu
dengan senantiasa berusaha menyenangkan hati mereka. Membuat mereka marah harus dijauhi.
Kemarahan roh-roh tersebut akan menimbulkan malapetaka. Yang dapat mengontrol
roh-roh tersebut seperti halnya dalam agama dinamisme adalah dukun atau ahli
sihir. Dalam masyarakat kita kepercayaan terhadap roh masih sebagaimana
terhadap mana masih dapat kita jumpai. Pemberian sesajen, selamatan,
kepercayaan terhadap orang halus dll. Semua ini adalah peninggalan-peninggalan
dari kepercayaan animism masyarakat kita di masa silam.
Politeisme mengandung kepercayaan
pada dewa-dewa. Dalam agama ini, sesuatu yang yang ditakuti dan dihormati bukan
lagi roh-roh, melainkan dewa-dewa. Kalau roh dalam dinamisme tidak diketahui
tugas-tugasnya, dewa-dewa dalam politeisme telah mempunyai tugas-tugas
tertentu. Ada dewa yang bertugas menyinarkan cahaya dan panas ke permukaan
bumi. Dewa ini dalam kepercayaan Mesir kuno disebur Dewa Ra, dalam agam India
kuno Surya, dan dalam agama Persia kuno Mithra. Ada pula dewa yang bertugas
menurunkan hujan yang diberi nama Indera dalam India kuno, Donnar dalam agama
Jerman kuno. Selain itu masih banyak lagi dewa-dewa lain dalam berbagai agama
politeisme.
Berlainan dengan roh-roh, dewa-dewa
diyakini lebih berkuasa. Oleh karena itu tujuan agama politeisme bukan lagi
memberi sesajen, dan persembahan-persembahan kepada dewa-dewa itu, tetapi juga
menyembah dan berdoa kepada mereka untuk menjauhkan amarahnya dari masyarakat
yang bersangkutan. Namun dalam politeisme terdapat faham pertentangan tugas
antara dewa-dewa tersebut. Dewa kemarau dan dewa hujan mempunyai tugas yang
bertentangan. Demikian juga dewa musim dingin dengan dewa musim panas, dewa
pembangunan dengan dewa penghancuran, dsb. Kalau berdoa, seorang politeis tidak
memanjatkan doa hanya kepada satu dewa, tetapi juga kepada dewa lawannya.
Kepada dewa hujan meminta untuk menurunkan hujan dan kepada dewa kemarau
diminta agar tidak menghalang-halangi dewa hujan.
Adakalanya beberapa dari dewa-dewa
yang banyak dalam politeisme meningkat ke atas dan mendapat perhatian dan
pujaan yang lebih besar dari dewa lainnya. Di sini lah timbul faham dewa tiga.
Dalam ajaran Hindu dewa tiga itu mengambil bentuk Brahma, Wisnu dan Syiwa. Dalam
Agama Mesir Kuno mengambil bentuk Osiris, istrinya Isis, dan anaknya Horus.
Dalam Agama Arab Jahiliyah kita mengenal Lataa, Uzza dan Manat. Adakalanya satu
dari dewa-dewa itu meningkat di atas segala deaa yang lain seperti Zeus dalam
agama Yunani Kuno, Yupiter dalam agama Romawi dan Ammon dalam agama Kuno. Ini
belum pengakuan pada satu Tuhan, tapi baru pada pengakuan dewa terbesar
diantara dewa-dewa yang banyak. Namun kalau dewa terbesar saja yang disembah,
dan dewa-dewa yang lain ditinggalkan, faham demikian telah keluar dari
politeisme dan meningkat kepada henoteisme. Henoteisme adalah mengakui satu
Tuhan untuk satu bangsa, dan bangsa-bangsa lain mempunyai tuhannya
sendiri-sendiri. Henoteisme mengandung faham tuhan nasional.
Dalam masyarakat yang sudah maju
agama yang dianut bukan lagi dinamisme, animism, politeisme atau henoteisme,
tetapi agama monoteisme. Dasar ajaran monoteisme adalah Tuhan Yang Satu, Tuhan
Yang Maha Esa,Pencipta Alam Semesta. Perbedaan antara henoteisme dengan
monoteisme ialah bahwa dalam agama akhir ini, Tuhan tidak lagi merupakan tuhan
nasional, melainkan tuhan internasional, tuhan semua bangsa bahkan tuhan alam
semseta.
Kalau dalam agama sebelumnya
asal-usul manusia belum memperoleh perhatian, dalam agama monoteisme manusia
telah diyakini berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan. Oleh karena
itu, kesadaran bahwa hidup manusia tidak hanya di dunia saja, tetapi dibalik
hidup yang material ini masih terdapat kehidupan lanjutan dari kehidupan
pertama sangat menonjol dalam dalam agama ini. Selain itu, dalam monoteisme
terdapat keyakinan bahwa kehidupan yang kedua lebih penting dari kehidupan
pertama. Hidup pertama bersifat sementara, sedangkan hidup kedua bersifat
kekal. Senang atau sengsara di kehidupan kedua nanti tergantung pada baik dan
buruknya hidup yang dijalani di kehidupan pertama.
Tujuan hidup dalam agama monoteisme
bukan lagi mencari keselamatan hidup material saja, tetapi juga keselamatan
hidup spiritual.
Jalan keselamatan tersebut bukan lagi dengan mengumpulkan banyak mana, sebagaimana
dalam agama dinamisme, tidak pula dengan menyogok roh-roh dan dewa-dewa dengan
sesaji seperti dalam Animisme, dan politeisme. Dalam monoteisme, kekuatan gaib
yang supranatural itu dipandang sebagai zat yang berkuasa mutlak. Bukan lagi
zat yang menguasai fenomena natur tertentu seperti halnya dalam animism dan
politeisme. Oleh karena itu Tuhan dalam monoteisme tidak dapat dibujuk dengan
saji-sajian. Kepada Tuhan yang sebagai pencipta mutlak, orang tak bisa kecuali
menyerahkan diri, dalam artian
menyerahkan diri kepada kehendakNya. Inilah arti kata Islam yang menjadi nama
agama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. Islam ialah menyerahkan diri
sepenuhnya kepada kehendak Tuhan. Dengan menyerahkan diri ini, yaitu patuh
kepada perintah dan larangan-larangan Tuhanlah seorang monoteis mencoba mencari
keselamatan.
Di sinilah perbedaan mendasar antara
agama-agama primitive dengan agama monoteisme. Dalam agama-agama primitive,
manusia mencoba menyogok dan membujuk kekuasaan supranatural dengan saji-sajian
supaya mengikuti kemauan manusia. Sedangkan dalam agama monoteisme sebaliknya,
manusialah yang harus tunduk terhadap kemauan Tuhan.
Tuhan dalam faham monoteisme adalah
Tuhan yang Maha Suci dan Tuhan yang menghendaki supaya manusia tetap suci.
Manusia akan kembali kepada Tuhan.Yang dapat kembali kepada Tuhan yang Maha
Suci hanyalah orang-orang yang suci.Orang-orang yang kotor tidak akan diterima
kembali di sisi yang Maha Suci. Orang-orang semacam ini akan berada jauh di
neraka, jauh dari yang Maha Suci. Orang-orang yang suci akan berada di dekat
Tuhan di surga. Jalan untuk tetap suci ialah senantiasa berupaya supaya dekat
pada Tuhan, ingat dan tidak lupa pada Tuhan. Dengan senantiasa dekat dan ingat
pada Tuhan, tidak akan mudah untuk terpedaya oleh kesenangan materi yang akan
membawa kepada kejahatan. Dengan senantiasa ingat pada Tuhan, manusia akan
ingat bahwa kesenangan sebenarnya bukanlah kesenangan sementara di dunia ini,
tapi kesenangan abadi di akhirat.
Agama-agama monoteisme mempunyai
ajaran-ajaran tentang norma-norma akhlak yang tinggi. Kebersihan jiwa, tidak
mementingkan diri sendiri, cinta kebenaran, suka membantu manusia, cinta damai,
rendah hati adalah ajaran yang diajarkan agama-agama monoteisme. Agama tanpa
ajaran moral tidak akan berarti dan tidak akan dapat merubah kehidupan manusia.
Tidak mengherankan kalau agama diidentikkan dengan moralitas. Karena agama
mempunyai sifat mengikat kepada para pemeluknya, maka ajaran-ajaran moral agama
lebih besar dalam pengaruhnya dari ajaran-ajaran moral yang dihasilkan filsafat
pemikiran manusia. Ajaran-ajaran yang berasal dari Tuhan pencipta alam semesta
mempunyai kekudusan dan absolut yang tidak dapat ditolak oleh manusia. Perintah
manusia masih dapat dilawan, tapi perintah Tuhan tidak dapat ditentang.
Referensi: Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya.
Referensi: Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya.

Posting Komentar untuk "Agama dalam Lintasan Sejarah"