Oleh: Bambang Q. Anees
Apakah yang dimaksud hantu adalah sejumlah tayangan dunia magis TV? Apakah sejumlah hantu yang dibebaskan oleh kuncen itu lepas, karena merasa enakmenjadi selebritis? Bukan…bukan itu. Walaupun ada lelucon di antara para hantubahwa kelak mereka akan mendapatkan acara baru di samping Dunia Lain, Penampakan, Uka-uka, Tim Pemburu Hantu, dsb itu, yaitu infotainment untukhantu
Hantu itu adalah kita. Masyarakat yang dimesinkan secara total. Masyarakat yang dipompa untuk meningkatkan konsumsi (dan sedikit produksi). Masyarakat yang diarahkan oleh komputer-komputer. Kita memang telah menjadi bagian dari mesin, seperti skrup yang diam pasif, hanya menjalankan apa yang menjadi fungsinya. Sebagai bagian dari mesin, kita ini diberi makan dan hiburan namun tetap saja pasif, tidak hidup dan nyaris tanpa perasaan. Skrup.
Aspek yang paling dominan pada diri kita adalah bahwa kita telah kehilangan kontrol terhadap sistem kita sendiri. Kita dipaksa mengikuti keputusan-keputusanyang dibuat menurut perhitungan alat-alat teknologi. Kita sebagai manusia tidakmemiliki tujuan kecuali terus-menerus mengkonsumsi (dan sedikit memproduksi). Sebagai konsumen, tugas kita adalah memamah biak sampai ludes, sudah itu memamah lagi, dan seterusnya. Sebagai konsumen tentu saja ada kalanya kita memilih (keaktifan), namun memilih dalam kerangka untuk memamah biak. Yang lebih kacau lagi pada saat memilihpun kita telah disetir oleh rayuan iklan yang begitu perkasa mengarahkan kesadaran kita tentang mana yang benar-benar dibutuhkan dan mana yang sekadar diinginkan. Repotnya lagi, iklan sebagai mesin pengolah hasrat kita begitu digdayamemperdaya kesadaran kita untuk hanya memilih yang kita inginkan, walaupun tak pernah kita butuhkan.
Aktivitas dalam masyarakat mesin hasrat adalah sibuk, dan sibuk dalam arti kesibukan untuk bisnis. Padahal dalam kenyataannya,kebanyakan orang sangat aktif tetapi mereka sesungguhnya tidak mengerjakan apapun. Tandanya adalah
“Mereka secara terus-menerus membutuhkan rangsangan dari luar, berupa obrolan tentang orang lain, tontonan di gedung film, perjalanan dan bentuk lain dari kenikmatan konsumsi yang menawan hari,…mereka memerlukan dorongan untuk dibelokkan, ditarik, dan dibujuk. Mereka selalu berlari dan tidak pernah berdiri. Mereka selalu jatuh dan tidak pernah bangun. Mereka membayangkan diri mereka sendiri sangat aktif,s ementara mereka didorong oleh obsesi-obsesi untuk mengerjakan sesuatu mengusir kecemasan yang timbul ketika mereka dihadapkan dengan diri mereka sendiri”[1]
Kenapa semua aktivitas kita disebut sebagai hantu?
Hantu adalah sejenis zombie, tubuh yang bergerak tanpa jiwa dari diri sendiri. Zombie bergerak karena digerakkan oleh yang lain, zombie bergerak tanpa tujuan dari dirinya sendiri, jadi persis tanpa tujuan. Kita adalah zombie itu, karena seluruh kegiatan kita diam-diam dilakukan tanpa tujuan yang jelas. Tanpa niat. Aktivitas kita hanya digerakkan oleh kecenderungan orang lain, atau asal bergerak saja. Dapatlah dikatakan bahwa kita telah menjadi manusia responsif,yaitu melakukan tindakan bukan berdasarkan apa mau kita namun karena kita nggak mau ketinggalan trend. Ini terlihat dalam hal beli-membeli, kita membeli barang x bukan karena kita mau atau ingin melainkan karena semua orang sedang trend membeli itu semua.
Bukankah itu hanya pada saat berbelanja saja? Tidak juga, pada aktivitas lain pun sama saja. Kita pernah merasa perlu “memodernkan” pemahaman kita beragama. Semua hal (dari penampakan sampai aspek terdalam dari agama) dicoba modernkan, semua mitos (atau yang dianggap mitos) ditolak dan diperbaharui. Itu semua dilakukan atas dorongan trend, saat itulah kita telah menjadi responsif dan hantu.
Gejala ini sebenarnya juga dikemukakan oleh Muhammad Iqbal, filsuf dari India. Bagi Iqbal,
“Jadi,karena sepenuhnya diliputi oleh hasil-hasil aktivitas intelektualnya, manusia modern telah berhenti hidup dengan jiwa, yakni hidup dari dalam. Dalam ranah pemikiran, dia hidup dalam konflik terbuka dengan dirinya sendiri; dan dalam ranah kehidupan politik dan ekonomi, dia hidup dalam konflik terbuka dengan orang lain. Dia menemukan dirinya tidak mampu mengontrol egoisme kejamnya dan kehausannya pada kekayaan yang tak terbatas, yang lambat lain membunuh semua kehendak yang lebih tinggi dan membawanya pada hidup yang melelahkan. Terserap dalam “fakta” sebutlah begitu, sumber sensasi yang hadir secara optis, dia terputus sama sekali dari wujud dirinya sendiri yang terdalam”[2]
Begitulah situasi manusia modern yang begitu menyebalkan, selalu menghadirkan konflik dengan banyak segala hal –bahkan dengan diri sendiri. Sialnya, manusia modern yang begitu menakutkan ternyata telah menular pada diri kita. Kita menjadi modern, kita menyerap pikiran modern, yang bagi Iqbal tidak memiliki jiwa. Maka jadilah situasi berikut ini:
Pikiranmu jadi tawanan pikiran orang lain,
Musik orang lain mengalun dalam kerongkonganmu
Suaramu sendiri tertelan
Dan hatimu dipenuhi aspirasi yang bukan milikmu[3]
Ini puisi yang luar biasa untuk menunjukkan kehantuan kita. Yaitu ketika pikiran, musik(sumber gerak keindahan), suara, dan hati ternyata bukan milik kita. Kita meminjam dari orang lain, lalu menjadikannya sebagai sumber dari tindakan kita. Lebih dari itu Iqbal menulis bahwa kita secara aneh telah menerima diri sebagai domba, yang menerima dan menurut saja tanpa protes, yang menerima tidak hanya kebergantungan ekonomi dan politik, melainkan juga kebergantungan psikologis.
Begitu semua hal itu diambil dari orang lain, maka “Mesjid, sekolah, dan kedai minuman,semuanya mati” begitulah Iqbal menyebutkan.
Nah, kita telah mengalami kematian mesjid, sekolah, dan seluruh aspek yang mewadahi kehidupan sosial kita. Kita mati perlahan-lahan sambil tidak sadar bahwa kita telah mati. Persis seperti hantu yang terus bergerak (digerakkan) padahal dirinya sudah mati.
Darimanakah asal muasal semua ini?
Iqbal sudah bilang bahwa semuanya berasal ketika kita mengganti cara berpikir diri pribadi dengan cara berpikir orang lain. Padahal dalam beragama kita mengenali hadits yang satu ini, bahwa beriman berarti berikrar, meyakini dalam hati, dan melakukan tindakan. Ikrar sebagai awal, kemudian menjadikan isi ikrar sebagai kesadaran hati sebagai langkah kedua, dan terakhir menerjemahkan dalam tindakan. Begitu kesadaran hati telah digantikan oleh sesuatu yang lain, kita telah memutus mata rantai iman ini. Atau begitu ikrar kita berbicara x, sedang kesadaran berisi y, dantindakan berwarna x, saat itulah kita menjadi hantu.
Lalu apa yang harus kita lakukan?
Sederhananya, tentu saja memeriksa ulang apa yang menjadi isi dari kesadaran kita. Kita harus memeriksa apakah ikrar yang pernah kita ucapkan telah menjadi isi dari kesadaran kita dan menjadi dasar dari tindakan kita. Bila ternyata ada kesadaran orang lain, hapuskanlah. Iqbal menulis:
Janganlah menjadi cermin yang hilang dalam keindahan yang lain
Dan hapuslah dari hati dan matamu mimpi indah orang lain[4]
[1] Erich Fromm, Revolusi Harapan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,1998, hal. 12
[2] Muhammad Iqbal, Reconstruction, hal. Hal. 187-188
[3] Muhammad Iqbal, Asrari Khudi, hal. 73
[4] Muhammad Iqbal, Payam-i Masyriq, hal. 208
Apakah yang dimaksud hantu adalah sejumlah tayangan dunia magis TV? Apakah sejumlah hantu yang dibebaskan oleh kuncen itu lepas, karena merasa enakmenjadi selebritis? Bukan…bukan itu. Walaupun ada lelucon di antara para hantubahwa kelak mereka akan mendapatkan acara baru di samping Dunia Lain, Penampakan, Uka-uka, Tim Pemburu Hantu, dsb itu, yaitu infotainment untukhantu
Hantu itu adalah kita. Masyarakat yang dimesinkan secara total. Masyarakat yang dipompa untuk meningkatkan konsumsi (dan sedikit produksi). Masyarakat yang diarahkan oleh komputer-komputer. Kita memang telah menjadi bagian dari mesin, seperti skrup yang diam pasif, hanya menjalankan apa yang menjadi fungsinya. Sebagai bagian dari mesin, kita ini diberi makan dan hiburan namun tetap saja pasif, tidak hidup dan nyaris tanpa perasaan. Skrup.
Aspek yang paling dominan pada diri kita adalah bahwa kita telah kehilangan kontrol terhadap sistem kita sendiri. Kita dipaksa mengikuti keputusan-keputusanyang dibuat menurut perhitungan alat-alat teknologi. Kita sebagai manusia tidakmemiliki tujuan kecuali terus-menerus mengkonsumsi (dan sedikit memproduksi). Sebagai konsumen, tugas kita adalah memamah biak sampai ludes, sudah itu memamah lagi, dan seterusnya. Sebagai konsumen tentu saja ada kalanya kita memilih (keaktifan), namun memilih dalam kerangka untuk memamah biak. Yang lebih kacau lagi pada saat memilihpun kita telah disetir oleh rayuan iklan yang begitu perkasa mengarahkan kesadaran kita tentang mana yang benar-benar dibutuhkan dan mana yang sekadar diinginkan. Repotnya lagi, iklan sebagai mesin pengolah hasrat kita begitu digdayamemperdaya kesadaran kita untuk hanya memilih yang kita inginkan, walaupun tak pernah kita butuhkan.
Aktivitas dalam masyarakat mesin hasrat adalah sibuk, dan sibuk dalam arti kesibukan untuk bisnis. Padahal dalam kenyataannya,kebanyakan orang sangat aktif tetapi mereka sesungguhnya tidak mengerjakan apapun. Tandanya adalah
“Mereka secara terus-menerus membutuhkan rangsangan dari luar, berupa obrolan tentang orang lain, tontonan di gedung film, perjalanan dan bentuk lain dari kenikmatan konsumsi yang menawan hari,…mereka memerlukan dorongan untuk dibelokkan, ditarik, dan dibujuk. Mereka selalu berlari dan tidak pernah berdiri. Mereka selalu jatuh dan tidak pernah bangun. Mereka membayangkan diri mereka sendiri sangat aktif,s ementara mereka didorong oleh obsesi-obsesi untuk mengerjakan sesuatu mengusir kecemasan yang timbul ketika mereka dihadapkan dengan diri mereka sendiri”[1]
Kenapa semua aktivitas kita disebut sebagai hantu?
Hantu adalah sejenis zombie, tubuh yang bergerak tanpa jiwa dari diri sendiri. Zombie bergerak karena digerakkan oleh yang lain, zombie bergerak tanpa tujuan dari dirinya sendiri, jadi persis tanpa tujuan. Kita adalah zombie itu, karena seluruh kegiatan kita diam-diam dilakukan tanpa tujuan yang jelas. Tanpa niat. Aktivitas kita hanya digerakkan oleh kecenderungan orang lain, atau asal bergerak saja. Dapatlah dikatakan bahwa kita telah menjadi manusia responsif,yaitu melakukan tindakan bukan berdasarkan apa mau kita namun karena kita nggak mau ketinggalan trend. Ini terlihat dalam hal beli-membeli, kita membeli barang x bukan karena kita mau atau ingin melainkan karena semua orang sedang trend membeli itu semua.
Bukankah itu hanya pada saat berbelanja saja? Tidak juga, pada aktivitas lain pun sama saja. Kita pernah merasa perlu “memodernkan” pemahaman kita beragama. Semua hal (dari penampakan sampai aspek terdalam dari agama) dicoba modernkan, semua mitos (atau yang dianggap mitos) ditolak dan diperbaharui. Itu semua dilakukan atas dorongan trend, saat itulah kita telah menjadi responsif dan hantu.
Gejala ini sebenarnya juga dikemukakan oleh Muhammad Iqbal, filsuf dari India. Bagi Iqbal,
“Jadi,karena sepenuhnya diliputi oleh hasil-hasil aktivitas intelektualnya, manusia modern telah berhenti hidup dengan jiwa, yakni hidup dari dalam. Dalam ranah pemikiran, dia hidup dalam konflik terbuka dengan dirinya sendiri; dan dalam ranah kehidupan politik dan ekonomi, dia hidup dalam konflik terbuka dengan orang lain. Dia menemukan dirinya tidak mampu mengontrol egoisme kejamnya dan kehausannya pada kekayaan yang tak terbatas, yang lambat lain membunuh semua kehendak yang lebih tinggi dan membawanya pada hidup yang melelahkan. Terserap dalam “fakta” sebutlah begitu, sumber sensasi yang hadir secara optis, dia terputus sama sekali dari wujud dirinya sendiri yang terdalam”[2]
Begitulah situasi manusia modern yang begitu menyebalkan, selalu menghadirkan konflik dengan banyak segala hal –bahkan dengan diri sendiri. Sialnya, manusia modern yang begitu menakutkan ternyata telah menular pada diri kita. Kita menjadi modern, kita menyerap pikiran modern, yang bagi Iqbal tidak memiliki jiwa. Maka jadilah situasi berikut ini:
Pikiranmu jadi tawanan pikiran orang lain,
Musik orang lain mengalun dalam kerongkonganmu
Suaramu sendiri tertelan
Dan hatimu dipenuhi aspirasi yang bukan milikmu[3]
Ini puisi yang luar biasa untuk menunjukkan kehantuan kita. Yaitu ketika pikiran, musik(sumber gerak keindahan), suara, dan hati ternyata bukan milik kita. Kita meminjam dari orang lain, lalu menjadikannya sebagai sumber dari tindakan kita. Lebih dari itu Iqbal menulis bahwa kita secara aneh telah menerima diri sebagai domba, yang menerima dan menurut saja tanpa protes, yang menerima tidak hanya kebergantungan ekonomi dan politik, melainkan juga kebergantungan psikologis.
Begitu semua hal itu diambil dari orang lain, maka “Mesjid, sekolah, dan kedai minuman,semuanya mati” begitulah Iqbal menyebutkan.
Nah, kita telah mengalami kematian mesjid, sekolah, dan seluruh aspek yang mewadahi kehidupan sosial kita. Kita mati perlahan-lahan sambil tidak sadar bahwa kita telah mati. Persis seperti hantu yang terus bergerak (digerakkan) padahal dirinya sudah mati.
Darimanakah asal muasal semua ini?
Iqbal sudah bilang bahwa semuanya berasal ketika kita mengganti cara berpikir diri pribadi dengan cara berpikir orang lain. Padahal dalam beragama kita mengenali hadits yang satu ini, bahwa beriman berarti berikrar, meyakini dalam hati, dan melakukan tindakan. Ikrar sebagai awal, kemudian menjadikan isi ikrar sebagai kesadaran hati sebagai langkah kedua, dan terakhir menerjemahkan dalam tindakan. Begitu kesadaran hati telah digantikan oleh sesuatu yang lain, kita telah memutus mata rantai iman ini. Atau begitu ikrar kita berbicara x, sedang kesadaran berisi y, dantindakan berwarna x, saat itulah kita menjadi hantu.
Lalu apa yang harus kita lakukan?
Sederhananya, tentu saja memeriksa ulang apa yang menjadi isi dari kesadaran kita. Kita harus memeriksa apakah ikrar yang pernah kita ucapkan telah menjadi isi dari kesadaran kita dan menjadi dasar dari tindakan kita. Bila ternyata ada kesadaran orang lain, hapuskanlah. Iqbal menulis:
Janganlah menjadi cermin yang hilang dalam keindahan yang lain
Dan hapuslah dari hati dan matamu mimpi indah orang lain[4]
[1] Erich Fromm, Revolusi Harapan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,1998, hal. 12
[2] Muhammad Iqbal, Reconstruction, hal. Hal. 187-188
[3] Muhammad Iqbal, Asrari Khudi, hal. 73
[4] Muhammad Iqbal, Payam-i Masyriq, hal. 208
Posting Komentar untuk "Ada hantu di tengah-tengah kita…!"