Kepribadian Kaum Beriman

Oleh: Nurcholis Madjid

Dalam Kitab Suci, terdapat banyak penuturan tentang kepribadian kaum beriman. Penuturan itu juga mengandung isyarat tentang bagaimana seharusnya orang yang beriman bertingkah laku dan menampilkan diri. Berbagai penuturan itu antara lain ialah yang terdapat dalam QS. 25: 63-67. Pertama-tama disebutkan bahwa hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih (‘Ibâd Al-Rahmân) itu ialah mereka yang jika berjalan di atas bumi, berjalan dengan rendah hati. Dan jika diajak berbicara oleh orang-orang yang bodoh, mereka menjawab atau mengucapkan “Salam!”

Mereka itu rajin beribadah kepada Allah. Mereka menyadari bahwa dirinya selalu terancam oleh kesengsaran, sehingga dengan tulus memohon kepada Allah untuk dihindarkan daripadanya. Dalam menggunakan harta, mereka tidak bersikap boros, juga tidak kikir, melainkan pertengahan antara keduanya. Mereka tulus dalam beribadah kepada Allah semata (tidak melakukan syirik, yang dapat memecah tujuan hidup hakikinya), dan menghormati
hak hidup orang lain yang memang dilindungi oleh Allah, dan senantiasa menjaga kehormatan dirinya.

Mereka tidak membuat kesaksian palsu, dan jika bertemu dengan hal-hal yang tidak berguna, mereka menghindar dengan harga diri. Kemudian, jika diingatkan akan ajaran-ajaran Tuhan, mereka tidak bersikap masa bodoh, seolah-olah tuli dan buta. Mereka juga mempunyai tanggung jawab keluarga yang tinggi (mencintai teman hidupnya, yaitu suami dan istri, serta anak keturunannya). Mereka mempunyai rasa tanggung jawab sosial, dengan keinginan kuat, yang dinyatakan dalam doa kepada Allah untuk dapat melakukan sesuatu yang bersifat kepemimpinan, yakni sikap hidup dengan memerhatikan kepentingan orang banyak).

Kalau direnungkan lebih mendalam, maka penuturan dalam Kitab Suci itu bersangkutan dengan rasa kemanusiaan yang amat tinggi dari kaum beriman. Karena rasa kemanusiaan itu, mereka tidak sombong, sedemikian rupa bahkan ketika harus berurusan dengan orang “bodoh” pun tidak kehilangan kesabaran, tetapi malah mengharapkan kebaikan dan kedamaian atau kesentosaan (salam) untuknya. Seolah-olah dia mengatakan, “Ya, barangkali kita memang tidak bisa bertemu pendapat sekarang, tetapi semogalah kita tetap damai, aman, dan sentosa dalam pergaulan kita.”

Tidak secara berlebihan ataupun kekurangan dalam menggunakan hartanya adalah jenis rasa kemanusiaan
dan tanggung jawab sosial yang tinggi. Sebab jika berlebihan, seperti yang terjadi pada gaya hidup konsumerisme dan “demonstration effect”, hal itu akan mengundang masalah sosial, tetapi begitu pula sebaliknya
kalau orang hanya menumpuk kekayaan tanpa mau menggunakannya: kelancaran ekonomi masyarakat akan terganggu.

Rasa kemanusiaan itu juga dicerminkan dalam sikap orang beriman menghormati hak hidup orang lain serta dalam menjaga kehormatan diri sendiri. Kesaksian palsu adalah tindakan yang amat tak bertanggung jawab, karena akan mencelakakan orang lain, maka tidak akan dilakukannya. Bahkan jika harus berurusan dengan hal-hal yang muspra, seperti “gosip” omong kosong lainnya, dia akan menolak untuk terlibat, karena dia hendak menjaga harga dirinya. Rasa kemanusiaannya yang tinggi itu juga membuatnya bersikap serius dalam keinginan
belajar dan menemukan kebenaran. Dan juga menunjukkan perhatian tulus terhadap kebahagiaan keluarganya,
begitu pula masyarakatnya.

Adapun kepribadian orang beriman, antara lain sebagaimana digambarkan dalam Al-Quran, adalah sebuah kepribadian yang rendah hati, Dan hamba-hamba (Allah) Yang Maha Pemurah, ialah mereka yang berjalan di muka bumi ini dengan rendah hati, dan bila ada orang jahil menegur mereka, mereka jawab, “Salam!” (QS. 25: 63). Sikap rendah hati di sini tentunya haruslah dibedakan dengan sikap rendah diri. Sikap yang kedua
ini jelas-jelas dilarang oleh Al-Quran sebagaimana dinyatakan, Janganlah merasa lemah, janganlah bersedih hati
sebab kamu lebih tinggi, jika kamu beriman (QS. 3: 139).

Sikap rendah hati secara otomatis akan lahir sebagai sebuah efek atau akibat positif ajaran tauhid atau pengesaan, yang dimensi konsekuensinya adalah menisbikan hal-hal selain Allah Swt. sebagai satu-satunya Yang Mutlak. Dengan demikian, sikap mentauhidkan Allah Swt. sebagai satu-satunya zat yang harus disembah akan melahirkan sikap yang dalam Al-Quran disebut barâ’ah (merdeka atau bebas).Pribadi Muslim tidak akan pernah tunduk, menyerah, atau bahkan merendahkan diri kepada hal-hal selain Allah Swt. Apalagi kepada hal-hal yang bersifat material atau bersifat kebendaan.

Selain rendah hati, sikap orang beriman adalah menjauhkan diri dari melakukan kesaksian palsu (syahâdat al-zûr). Kesaksian palsu ini pada zaman sekarang populer diistilahkan dengan melakukan praktik mafia hukum. Kesaksian palsu merupakan titik awal terjadinya ketidakadilan dalam proses hukum yang akan merusak tatanan
moral dan sosial suatu masyarakat jika terus berkelanjutan. Dalam Al- Quran, sikap menjauhkan diri dari kesaksian palsu yang merupakan salah satu ciri orang beriman dinyatakan dalam firman Allah Swt. yang
berbunyi, Mereka yang tidak memberikan kesaksian palsu … (QS. 25:72).

Sifat lain yang menjadi ciri orang beriman adalah menepati perjanjian (al-‘aqd atau contract). Orang beriman
harus bisa memelihara dan menjaga janjinya karena janji merupakan suatu kesepakatan yang harus dipatuhi oleh pihak-pihak yang membuatnya, sebagaimana disebutkan Al-Quran, Hai orang-orang yang beriman! Penuhilah janji (QS. 5: 1).

Posting Komentar untuk "Kepribadian Kaum Beriman"