Teladan Imam Shamsi Ali: Janganlah Perilaku Muslim Menutupi Keindahan Islam

Oleh: Irfan Amalee

Ada sebuah cerita yang membuat saya merasa sedih dalam PeaceCamp pelajar di Cianjur dua pekan lalu.

Alkisah, 70 siswa Muslim dan Kristen yang dibagi menjadi kelompok-kelompok kecil ditugaskan untuk datang ke rumah-rumah penduduk. Mereka diberi tugas membantu membersihkan rumah penduduk, memberikan penyuluhan tentang hidup sehat, dan memberikan bingkisan buah-buahan.

Ternyata dari sepuluh kelompok, ada satu kelompok yang ditolak tuan rumah. Pemilik rumah sudah memasang wajah tak ramah sejak rombongan pelajar tiba. Dengan celurit di tangan (kebetulan dia memang mau berangkat menyabit rumput) tak sedikti pun beliau menatap para peserta. Dia pun lantas berbicara panjang lebar tentang Islam sebagai agama yang paling benar.

"Tak bisa ditawar-tawar," katanya.

Barangkali pemilik rumah itu berceramah tentang kehebatan Islam karena melihat rombongan yang datang berasal dari beragam agama. Peserta yang terdiri dari anak-anak SMA tentu saja ciut campur bingung. Ciut melihat celurit dan wajah tak ramah tuan rumah. Bingung tak paham isi ceramahnya yang membahas aqidah hingga khilafah.

Tentu saja saya merasa wajib menghibur siswa-siswa yang ditolak itu. Mungkin tuan rumah mereka sedang punya masalah. Saya sampaikan pula, terutama pada siswa Kristen, bahwa Islam mengajarkan bersikap ramah pada tamu. Bahkan perintah menghormati tamu disandingkan dengan keimanan terhadap hari akhir. Jangankan kepada tamu, kepada orang yang jelas-jelas memusuhi dan berniat jahat, Rasulullah Muhammad Saw. tetap berbuat baik.

Kita tak bisa menilai Islam dengan melihat Muslim. Tak jarang sikap Muslim sama sekali bertolak belakang dengan nilai Islam. Itulah sebabnya seorang ulama berkata, Al-Islaamu Mahjuubun Bil Muslimin yang artinya "(Kebenaran) Islam tertutupi oleh (sikap) penganutnya." Sikap kita yang seharusnya mencermintkan keindahan Islam, malah menutupi keindahan itu.

Dalam buku Bulan Sabit Di atas Patung Liberty (Mizania 2006), sejumlah muallaf Amerika mengisahkan bagaimana mereka menemukan Islam. Ada beberapa orang yang tertarik masuk Islam karena melihat Muslim, tetapi kebanyakan sampai ke Islam karena pengkajian mereka sendiri terhadap ajarannya. Mereka menemukan Islam setelah mempelajarinya secara mendalam, bukan karena melihat sosok Muslim. Bahkan salah seorang muallaf mengatakan, "Seandainya saya mengenal Muslim sebelum mengenal Islam, mungkin saya tak akan tertarik pada Islam"

Dalam buku Pungutlah Hikmah Walau Dari Mulut Paman Sam (Bagian kedua dari buku Beasiswa di Bawah Telapak Kaki Ibu) saya ceritakan bagaimana Islam di Amerika disalahfahami karena (salah satu penyebabnya) ulah umat Islam sendiri. Beberapa masjid ditutup pasca tragedi 9/11, karena khawatir diserang—sebelum peristiwa teror tersebut, banyak masjid memang tak membuka diri pada komunitas setempat. Berbeda dengan sebuah masjid di Boston yang dipimpin oleh Imam Talal Ied. Masjid itu tetap buka. Sebab sejak didirikan, masjid memang terbuka untuk komunitas, sehingga semua orang bisa mengenal Islam lebih dekat.

Beruntung saya sempat bertemu dengan Imam Shamsi Ali, Imam masjid Al-Hikmah New York yang asli Makassar. Imam Shamsi menjadi salah satu Muslim yang membawa wajah damai di publik Amerika. Ketika banyak umat Islam tiarap pasca tragedi 911, Imam Shamsi Ali justru tampil di hadapan publik untuk menjelaskan apa itu Islam. Bukan hanya di masjid, Beliau berpidato pada demonstrasi anti perang 2013, berceramah di gereja, bahkan secara rutin mentraining polisi federal agar memiliki pemahaman yang benar tentang Islam. Dengan setelan gaya anak muda, Imam Shamsi Ali juga tampil bersama sejumlah tokoh dari berbagai agama dalam video Charter for Compassion, sebuah gerakan internasional untuk mempromosikan nilai welas asih.

Wajah nusantara, serta kopiah khas Indonesianya, membuat Imam Shamsi Ali terlihat begitu berbeda dengan kebanyakan Imam di Amerika yang didominasi oleh warga keturunan Arab dan Indopakistan. Konon dalam sebuah pertemuan para Imam, Imam Shamsi Ali sempat dipertanyakan keimamnnya karena tak menggunakan jubah kebesaran sebagaimana biasa digunakan para Imam. Padahal justru karena penampilannya itulah, Imam Shamsi Ali mampu menyuguhkan "wajah yang berbeda" dari Islam. Sementara banyak masjid didominasi suku bangsa tertentu, Masjid Al-Hikmah yang dipimpinnya didatangi jamaah berbagai suku bangsa. Tak jarang Imam Shamsi Ali membimbing orang Amerika berikrar syahadat di masjid ini. Tak heran bila kemudian, karena jasanya membangun dialog antarumat beragama di Negara Paman Sam, pada 2013 ini pemerintah kota New York menganugerahinya A Distinguished Service Award.

Pakan depan Imam Shamsi Ali akan hadir di Indonesia untuk meluncurkan memoarnya Imam Shamsi Ali: Menebar Damai Di Bumi Barat yang diterbitkan salah satu penerbit dalam Kelompok Mizan, NouraBooks. Sebuah kehormatan bagi saya bisa menjadi pembicara pendamping pada salah satu acara bedah bukunya di Masjid Salman ITB ba'da Shalat Jumat 29 November kelak.

Semoga melalui buku memoar Imam Shamsi Ali, kita bisa melihat kindahan Islam dari seorang Muslim, sekaligus menjadi Muslim yang turut memancarkan keindahan ajaran mulia itu.

Posting Komentar untuk "Teladan Imam Shamsi Ali: Janganlah Perilaku Muslim Menutupi Keindahan Islam"