Oleh : Triwibs
GURU kami beberapa kali mengatakan, salah satu dari sekian banyak penyebab kekacauan, yang sayangnya sulit diatasi, adalah karena "gelar mendahului ilmu." Makin banyak orang dengan ilmu seadanya, belum mengalami berbagai ujian hidup, mendadak dipanggil ustadz, kyai, ulama dan mengeluarkan pendapat yang diklaim paling sahih. Juga anak-anak muda begitu bersemangat membaca, menggaungkan semangat iqra' dengan keinginan mengubah dunia, menciptakan peradaban yang agung atas dasar 'pembacaan' dan tafsir mereka tentang apa itu peradaban yang agung.
Tetapi sepertinya ada yang luput. Banyak yang menyerukan iqra' tapi tidak dengan menyertakan "bismi rabbika." Membaca dengan menyertakan Rabb, Allah Yang Maha Mendidik. Banyak yang membaca seolah merasa mampu menelisik sendiri segala ilmu segala pengetahuan, tanpa menelisik ke dalam "ruh" dari apa yang mereka baca -- dan padahal 'ruh' dari ayat ilahiah, baik dalam kitab suci maupun kosmos, hanya bisa dipahami jika orang selalu menyertakan Rabb dalam aktivitas belajarnya. Menyertakan Rabb berarti berusaha meleburkan kehendak diri ke dalam kehendak Allah, dan itu berarti tazkiyatun nafs, mensucikan jiwa. Tetapi tak semua orang berani masuk ke dalamnya, karena tazkiyatun nafs selalu mengandung unsur membingungkan, tak nyaman dan menyakitkan. Maka Maulana Rumi pun berkata, "Banyak orang ingin mengubah dunia, tapi hanya sedikit yang ingin dan berani mengubah dirinya sendiri."
Karena lalainya pada unsur ini maka sebagian orang hanya berpegang pada teks lahir, mengabaikan kemungkinan bahwa dibalik teks suci selalu ada unsur "ruh" yang hidup, yang tak terjangkau oleh pemahaman nalar, namun sekaligus tak berada diluar pemahaman manusia. Maka agama menjadi setumpuk doktrin yang kering, keras, juga kaku, dan mencetak jiwa-jiwa yang keras dan merasa selalu benar. Dan pada akhirnya agama, yang tujuannya membereskan akhlak dan menghancurkan berhala, justru menjadi berhala itu sendiri. Yang lebih buruk, sebagian orang menjadikan "berhala" agama menjadi justifikasi untuk memberhalakan diri mereka sendiri.
Orang yang berusaha bertindak dan melakukan sesuatu demi orang lain, demi dunia, atas nama agama namun tanpa berusaha memperbaiki akhlak sendiri, tanpa memperdalam pemahaman tentang hakikat diri dan memperbesar kemampuan untuk mencintai, maka orang itu boleh jadi tidak memberikan apapun kepada orang lain. Orang yang sedemikian itu barangkali justru menyampaikan obsesinya sendiri, nafsunya sendiri, kepentingannya sendiri, dan khayalannya sendiri, dengan bungkus dalih-dalih religius yang dipenuhi prasangka. Lalu agama muncul dalam wajah yang bengis terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan persaudaraan.
Semua orang bisa mengklaim dirinya yang paling benar. Dan dalam kenyataannya, kita belum pernah mendengar ustad-ustad zaman sekarang mengatakan bahwa apa yang disampaikannya "belum tentu" benar. Sebagian berani mengklaim pendapatnya sebagai "inilah ajaran Islam," padahal itu hanya tafsir mereka atas ajaran Islam. Pada level yang lebih ekstrim, muncul asumsi semua bahwa "perkataanku adalah paling benar" karena merasa paling benar dalam memahami teks suci. Ini seolah-olah pemahaman mereka setara dengan pemahaman kanjeng Rasulullah. Sikap semacam ini, atau mentalitas "pseudo-nabi" ini akan menyebabkan orang mudah mengkafirkan atau setidaknya menyalahkan pemahaman orang lain karena merasa paling didukung Tuhan. Jika ini terus dipelihara dalam hati, maka yang muncul adalah penghakiman dan arogansi iman. Dan ketika mereka tak mampu lagi berargumen, mereka akan langsung ofensif dengan menyatakan bahwa “kau sesat, kau bid'ah,” hingga pada titik dimana mereka merasa berhak untuk melakukan kekerasan atas nama Tuhan.
Makin banyak yang mencoba membatasi dan memonopoli rahmat Allah hanya untuk kelompok sendiri. Sepertinya kita akan makin sering berkelahi antar sesama demi berebut kapling surga. Dan jika terhadap sesama saudara seiman tak bisa menjadi manifestasi rahmat, bagaimana kita akan bisa menjadi rahmatan lil 'alamin, rahmat bagi semesta alam?
Wa Allahu a'lam
GURU kami beberapa kali mengatakan, salah satu dari sekian banyak penyebab kekacauan, yang sayangnya sulit diatasi, adalah karena "gelar mendahului ilmu." Makin banyak orang dengan ilmu seadanya, belum mengalami berbagai ujian hidup, mendadak dipanggil ustadz, kyai, ulama dan mengeluarkan pendapat yang diklaim paling sahih. Juga anak-anak muda begitu bersemangat membaca, menggaungkan semangat iqra' dengan keinginan mengubah dunia, menciptakan peradaban yang agung atas dasar 'pembacaan' dan tafsir mereka tentang apa itu peradaban yang agung.
Tetapi sepertinya ada yang luput. Banyak yang menyerukan iqra' tapi tidak dengan menyertakan "bismi rabbika." Membaca dengan menyertakan Rabb, Allah Yang Maha Mendidik. Banyak yang membaca seolah merasa mampu menelisik sendiri segala ilmu segala pengetahuan, tanpa menelisik ke dalam "ruh" dari apa yang mereka baca -- dan padahal 'ruh' dari ayat ilahiah, baik dalam kitab suci maupun kosmos, hanya bisa dipahami jika orang selalu menyertakan Rabb dalam aktivitas belajarnya. Menyertakan Rabb berarti berusaha meleburkan kehendak diri ke dalam kehendak Allah, dan itu berarti tazkiyatun nafs, mensucikan jiwa. Tetapi tak semua orang berani masuk ke dalamnya, karena tazkiyatun nafs selalu mengandung unsur membingungkan, tak nyaman dan menyakitkan. Maka Maulana Rumi pun berkata, "Banyak orang ingin mengubah dunia, tapi hanya sedikit yang ingin dan berani mengubah dirinya sendiri."
Karena lalainya pada unsur ini maka sebagian orang hanya berpegang pada teks lahir, mengabaikan kemungkinan bahwa dibalik teks suci selalu ada unsur "ruh" yang hidup, yang tak terjangkau oleh pemahaman nalar, namun sekaligus tak berada diluar pemahaman manusia. Maka agama menjadi setumpuk doktrin yang kering, keras, juga kaku, dan mencetak jiwa-jiwa yang keras dan merasa selalu benar. Dan pada akhirnya agama, yang tujuannya membereskan akhlak dan menghancurkan berhala, justru menjadi berhala itu sendiri. Yang lebih buruk, sebagian orang menjadikan "berhala" agama menjadi justifikasi untuk memberhalakan diri mereka sendiri.
Orang yang berusaha bertindak dan melakukan sesuatu demi orang lain, demi dunia, atas nama agama namun tanpa berusaha memperbaiki akhlak sendiri, tanpa memperdalam pemahaman tentang hakikat diri dan memperbesar kemampuan untuk mencintai, maka orang itu boleh jadi tidak memberikan apapun kepada orang lain. Orang yang sedemikian itu barangkali justru menyampaikan obsesinya sendiri, nafsunya sendiri, kepentingannya sendiri, dan khayalannya sendiri, dengan bungkus dalih-dalih religius yang dipenuhi prasangka. Lalu agama muncul dalam wajah yang bengis terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan persaudaraan.
Semua orang bisa mengklaim dirinya yang paling benar. Dan dalam kenyataannya, kita belum pernah mendengar ustad-ustad zaman sekarang mengatakan bahwa apa yang disampaikannya "belum tentu" benar. Sebagian berani mengklaim pendapatnya sebagai "inilah ajaran Islam," padahal itu hanya tafsir mereka atas ajaran Islam. Pada level yang lebih ekstrim, muncul asumsi semua bahwa "perkataanku adalah paling benar" karena merasa paling benar dalam memahami teks suci. Ini seolah-olah pemahaman mereka setara dengan pemahaman kanjeng Rasulullah. Sikap semacam ini, atau mentalitas "pseudo-nabi" ini akan menyebabkan orang mudah mengkafirkan atau setidaknya menyalahkan pemahaman orang lain karena merasa paling didukung Tuhan. Jika ini terus dipelihara dalam hati, maka yang muncul adalah penghakiman dan arogansi iman. Dan ketika mereka tak mampu lagi berargumen, mereka akan langsung ofensif dengan menyatakan bahwa “kau sesat, kau bid'ah,” hingga pada titik dimana mereka merasa berhak untuk melakukan kekerasan atas nama Tuhan.
Makin banyak yang mencoba membatasi dan memonopoli rahmat Allah hanya untuk kelompok sendiri. Sepertinya kita akan makin sering berkelahi antar sesama demi berebut kapling surga. Dan jika terhadap sesama saudara seiman tak bisa menjadi manifestasi rahmat, bagaimana kita akan bisa menjadi rahmatan lil 'alamin, rahmat bagi semesta alam?
Wa Allahu a'lam
Posting Komentar untuk "Ilmu Rabbani"