Biografi Singkat Pak Karman

Masa Kecil
Ayah saya itu lahir di Garut pada 12 Maret 1964, di sebuah kampung yang bernama Ngompod. Kampung ini masih masuk kecamatan Banyuresmi. Saat kecil orang tua beliau yang tentu kakek dan nenek saya memberinya nama Tatang. Saya tahu nama ini karena kalau nenek saya memanggil ayah saya, dia memanggil Tatang, dan saudara-saudara jauh pun masih mengenal ayah saya dengan nama Tatang. Walaupun entah semenjak kapan, nama Tatang ini pun diganti menjadi Karman. Nama Karman inilah yang digunakan oleh ayah saya sampai sekarang. Ayah saya dan keluarganya tinggal di Garut sampai saat ayah saya berumur 5 tahunan, pokoknya ayah saya dikhitan ketika beliau masih di Garut. Ayah saya ini anak bungsu, dikarenakan anak bungsu, maka di keluarga ayah, saya hanya punya banyak ua, tidak punya emang (sebutan orang sunda untuk paman) atau bibi.

Sampai suatu ketika satu keluarga ayah saya pindah semua ke kota Bandung. Kakek dan nenek saya beserta keluarganya tinggal di sebuah rumah di jalan surapati cicaheum (suci) yang sampai sekarang masih ditempati. Masa kecil ayah saya pun banyak dihabiskan di Bandung. Seperti anak kecil pada umumnya, masa kecil ayah saya dihabiskan dengan bermain. Bermain layang-layang, bermain kelereng, dan kaulinan barudak lainnya. Kebetulan lingkungan tempat ayah saya tinggal itu memang lingkungan yang kurang baik, ya disana banyak tinggal preman, dll. Sehingga mau tidak mau ayah saya pun agak terpengaruh oleh kondisi seperti itu. Menurut cerita beliau sendiri, kalau orang kan merokok itu ya beli rokok lalu dinyalakan dan dihisap, nah kalau dia pernah merokok dengan puntung yang sudah dibuang, lalu dihisap lagi. Itu zaman dulu, sekarang beliau tidak merokok.

Melihat kondisi seperti itu, kakek nenek saya rada khawatir dengan kenakalan ayah saya. Oleh karena itu setelah lulus SD, ayah saya dimasukan ke SMP yang berbasis agama, yakni SMP Muhammadiyah 3 yang ada di daerah padasuka, tidak jauh dari tempat ayah saya tinggal.

Masa Remaja
Setelah masuk ke SMP Muhammadiyah, ayah saya mulai mengenal pelajaran agama. Pada masa itu, memang masih jarang sekolah yang berbasis agama, kalau zaman sekarang sudah banyak kita jumpai sekolah-sekolah yang berlatar agama. Sekolah-sekolah negeri pada waktu itu pun memang sangat sekuler, sampai-sampai mengenakan jilbab saja dilarang. Oleh karena itu orang tua yang memang menginginkan anaknya mendapatkan pelajaran agama lebih ya dimasukan ke sekolah Muhammadiyah.

Disamping mendapatkan pelajaran keagamaan di kelas, saat SMP ini ayah saya pun mulai mengenal organisasi. Di sekolah-sekolah Muhammadiyah tidak ada yang namanya OSIS, yang ada adalah Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM). Di IPM ini lah ayah saya mulai mikir, mulai terjadi transformasi pemikiran dari masa kecil menuju kedewasaan. Ayah saya yang semasa kecil tahunya hanya main dan rada nakal mulai menjadi militan dalam beragama. Biasanya orang yang sebelumnya nakal, lalu kenal dengan agama akan menjadi sangat militan dalam beragama melebihi orang yang sudah beragama dari sononya. Ayah saya pun mengalami masa-masa seperti itu, beliau beragama dengan sangat keras, walau seiring dengan perjalanan waktu mulai kembali bergeser menjadi moderat.

Ada kelebihan IPM ini dibanding OSIS, kalau OSIS si anak paling hanya mengenal kader organisasi di tingkat SMP atau SMA. Sementara IPM ini dikarenakan salah satu organisasi otonom dari Muhammadiyah, maka kadernya pun tersebar bahkan sampai tingkat perguruan tinggi. Walaupun memang sekarang pun kader-kader OSIS yang sudah kuliah ada aja kali yang turun ke sekolah-sekolah. Hal tersebut membuat ayah saya yang masih usia SMP namun sudah berkenalan dengan pemikiran-pemikiran yang lebih tinggi, yang dibawa oleh seniornya yang mungkin sudah kuliah.  Tercatat salah satu pembina IPM SMA Muhammadiyah 3 pada waktu itu adalah Pak Haedar Nashir, yang sekarang jadi salah satu ketua PP Muhammadiyah dan merupakan ideolog Muhammadiyah yang paling handal.

Cita-cita Aneh
Saat kecil ayah saya ini punya cita-cita yang agak aneh, yakni ingin menjadi dalang. Hal ini dikarenakan di dekat rumah suka ada pentas wayang. Ayah saya terpukau dengan keahlian dalang dalam memainkan lakon-lakon pewayangan. Sehingga saat itu beliau hafal nama-nama wayang dan retorika dalang dalam memainkan wayang-wayangnya.

Sampai suatu ketika ketika beliau masih SMP, ada perlombaan pidato tingkat Kota Bandung. Dikarenakan beliau bercita-cita menjadi dalang, dan menguasai retorika dalang, beliau menjadi salah satu juara dalam lomba pidato tersebut. Saya lupa lagi apakah juara satu atau dua, pokoknya juara deh. Dari sana dia mulai sadar kalau dia mempunyai bakat dalam hal pidato atau retorika. Kelak bakat ini terus diasah oleh beliau dan membuatnya menjadi mubaligh Muhammadiyah yang sangat dikenal di daerah Jawa Barat.

Pada Awalnya Terpaksa
Selesailah masa-masa di SMP, lalu ayah saya melanjutkan jenjang pendidikan berikutnya ke SMA. Berbeda dengan SMP yang berbasis Islam, ayah saya masuk SMA Negeri, yakni SMAN 10 Bandung yang ada di Jalan Cikutra. Kebetulan ibu saya pun sekolah disana dan jadi adik kelas beliau. Di SMAN 10 ini walaupun SMA Negeri namun ada semacam klub-klub kajian agama. Saat SMA pun ayah saya masih aktif di PC. IPM Cibeunying Kidul. Nah, kawan-kawan ayah saya di SMA tahu kalau dulu SMP ayah saya di SMP Muhammadiyah, makanya setiap kali ada pertanyaan mengenai agama,pasti bertanya ke ayah saya.

Mentang-mentang lulusan SMP Muhammadiyah, ayah saya disangka udah jago agamanya, padahal masih belajar juga. Mengingat banyak pertanyaan-pertanyaan dari teman-teman seputar agama, maka dengan terpaksa ayah saya membaca buku-buku agama untuk menjawab pertanyaan teman-teman tersebut. Ya terpaksa membawa berkah, dari sana ayah saya semakin banyak mengetahui perihal keIslaman.  Di SMA pun ayah saya punya banyak binaan adik-adik kelasnya.

Keluar dari ITB
Ada sebuah nasehat yang menarik dari ayah saya, dakwah yang paling bagus adalah dengan prestasi. Hal ini membuat klub-klub kajian agama di SMA itu selain mengkaji seputar agama, namun juga mendidik anggotanya agar bisa berprestasi. Oleh karena itu sudah menjadi rutinitas ayah saya untuk membahas soal-soal mata pelajaran mengajarkannya kepada adik-adik binaan. Ya agar anggota klub kajian tersebut bisa mendapat ranking bagus di kelas atau lulus masuk perguruan tinggi favorit.

Dikarenakan sangat sering membahas soal-soal mata pelajaran, maka saat ujian masuk perguruan tinggi, ayah saya bisa dengan mudah masuk ke Institut Teknologi Bandung jurusan biologi. Namun ternyata dalam hati dia tidak mau kuliah di ITB, inginnya masuk IAIN (sekarang UIN). Namun dikarenakan dorongan yang besar dari keluarga, beliau harus masuk ITB. Selama setahun beliau kuliah di ITB dengan tidak ikhlas, dan akhirnya pada tahun kedua beliau pindah ke IAIN dengan mengambil jurusan Bahasa dan Sastra Arab.

Memang agak aneh, di saat anak-anak sekarang berlomba-lomba ingin kuliah di ITB, eh ayah saya dengan tanpa beban memilih keluar dari ITB, lebih memilih IAIN lagi. Ya masuk ITB zaman dulu tidak sama dengan masuk ITB zaman sekarang, zaman dulu itu yang kuliah masih sedikit,persaingan tidak seketat sekarang, zaman dulu ibu saya yang lulusan D3 UPI saja sudah bisa jadi PNS, zaman sekarang jauh lebih rumit. Maka beruntunglah yang hidup di zaman dulu.. hehe..

Menjadi Mahasiswa IAIN
Alkisah, setelah keluar dari ITB, mulailah ayah saya menjadi IAIN. Saat ditanya kenapa memilih IAIN, dan kenapa memilih Bahasa dan Satra Arab? Jawabannya sederhana saja, ingin memahami al quran. Ya kita ketahui bahwa Islam itu sumbernya alquran dan teks-teks yang tertulis dalam bahasa Arab, saat kita menguasai bahasa Arab, maka kita sudah punya kunci untuk memasuki khazanah-khazanah Islam yang begitu kaya.

Berhubung ayah saya lulusan SMA, yang tidak ada pelajaran bahasa Arabnya, tentu dia mulai belajar dari nol. Kawan-kawan sekelasnya banyak yang dari pesantren, yang mungkin sudah mahir dalam membaca kitab atau muhadatsah dengan menggunakan bahasa Arab. Namun ada yang menarik menurut ayah saya, bahwa kawan-kawannya itu yang lulusan pesantren, seringkali dikarenakan merasa sudah bisa, agak malas dalam belajar. Sedangkan ayah saya dikarenakan sudah bisa, maka dia bersungguh-sungguh dan rajin dalam belajar. Ya akhirnya ayah saya bisa juga, dan malah bisa menyusul sebagian kawan-kawannya.

Saat mahasiswa, berhubung beliau mempunyai latar belakang aktif di Ikatan Pelajar Muhammadiyah, beliau aktif juga di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Korkom UIN Bandung. Beliau sempat menjadi ketua korkom pada waktu itu, bersama Pak Dadang Syaripudin, Pak Ahmad Gibson, Pak Dudu Hermawan dll. Beliau juga sempat aktif dalam lingkar-lingkar diskusi yang salah satu aktivisnya adalah pak Asep Saeful Muhtadi.

Menempuh pendidikan sampai tingkat perguruan tinggi adalah sesuatu yang tidak pernah disangka-sangka oleh ayah saya. Mengingat seluruh saudaranya tidak ada yang mencapai tingkat perguruan tinggi. Cita-cita beliau pun masih tidak muluk-muluk, yakni ingin mengajar saja di SMP Muhammadiyah 3 yang menjadi almamaternya. Walaupun takdir berkata lain.

Kedekatan dengan Kang Jalal
Tak disangka, ternyata ayah saya pernah mempunyai hubungan yang sangat dekat dengan Jalaluddin Rakhmat atau yang akrab disapa dengan Kang Jalal. Sebenarnya hal ini tidak aneh, mengingat kang Jalal sebelum masuk syiah adalah aktivis dan mubaligh Muhammadiyah Kota Bandung. Ayah saya tahu bagaimana sejarah hidup kang Jalal, dan dirumah pun banyak buku-buku karangan Kang Jalal.

Beliau pernah cerita kalau Kang Jalal itu orangnya pinter banget, namun tidak begitu mampu secara ekonomi. Pada suatu ketika, kang Jalal ikut seleksi masuk kedokteran UNPAD, dan diterima, namun dikarenakan tidak punya biaya, beliau harus mengubur keinginannya. Akhirnya kang jalal masuk ke sekolah publisistik, kalau di zaman sekarang namanya fakultas ilmu komunikasi. Zaman sekarang FIKOM itu lumayan bergengsi, di zaman kang Jalal dahulu, sekolah publisistik itu sama sekali tidak dilirik. Kang Jalal kuliah disana sambil bekerja. Tapi dasar kang Jalal memang pinter, akhirnya dia pun menjadi pakar dalam ilmu komunikasi.

Pada awalnya Kang Jalal itu sunni dan Muhammadiyah, ya seperti orang Indonesia pada umumnya. Namun menurut cerita salah seorang senior di IMM, awal mula kang Jalal menjadi syiah adalah saat Amien Rais mengirim beliau ke Iran untuk mempelajari mengenai Revolusi Iran. Kita tahu pada tahun 1979 di Iran terjadi revolusi menggulingkan pemerintahan Syah Fahlevi yang dimotori oleh Ayatullah Khomeini. Namun sialnya, pas balik ke Indonesia ternyata yang disebarkan di Indonesia bukan revolusinya, namun syiahnya.

Mengetahui kang Jalal yang masuk syiah beliau sempat "disidang" oleh PW. Muhammadiyah Jabar dan MUI Kota Bandung. Namun ya namanya keyakinan bagaimana lagi? Yang jelas setelah itu kang Jalal mulai menjauh dan tidak lagi aktif di Muhammadiyah.

Setelah meluasnya kabar kesyiahan kang Jalal, orang-orang dekat ayah saya mulai menyuruh ayah saya untuk menjauh dari kang Jalal, ya takut ketularan syiah. Walaupun ayah saya santai-santai saja, ya beliau tahu lah mana unsur-unsur syiah dan mana yang baik bisa diambil dari kang Jalal. Kedekatan beliau dengan kang Jalal mebuat banyak yang memberi beliau buku-buku agama agar tidak terpengaruh kang Jalal, ya beliau asyik-asyik saja, lumayan katanya bisa dapat buku gratisan.. hehe..

Yang paling berpengaruh dari kang Jalal bagi ayah saya adalah retorikanya. Pernah ada masa dimana retorika atau pidato ayah saya ini sangat mirip sekali dengan retorika kang Jalal yang sangat memukau. Walaupun setelah sata perhatikan, hari ini retorika ayah saya lebih bagus dari kang Jalal.. hehe. Entah dari kapan ayah saya sudah tidak berhubungan lagi dengan Kang Jalal, saya mengenal kang Jalal hanya dari buku-buku yang ada di rumah. Seperti halnya ayah saya, ketika membaca buku-buku kang Jalal tidak lantas saya menjadi syiah, saya bisa membedakan tulisan kang Jalal yang sedang jadi syiah dan mana beliau yang jadi netral-netral saja.

Menjadi Dosen IAIN
Seperti yang saya ceritakan sebelumnya, gambaran masa depan dalam benak ayah saya itu ya paling menjadi staf pengajar di SMP. Tidak lebih dari itu, walaupun ternyata takdir berkata lain, ayah saya alhamdulillah menjadi dosen di almamaternya di IAIN. Saya kurang tahu beliau ini menjadi dosen sebelum atau setelah menikah, yang jelas sampai sekarang beliau menjadi dosen bahkan sempat menjadi pembantu dekan Fakultas Adab dan Humaniora.

Sebagai seorang mahasiswa ayah saya mungkin suka membeli buku, terlebih tugas beliau sebagai dosen. Sehingga di rumah ada banyak buku mengenai tema-tema keagamaan khususnya yang berhubungan dengan bidang ilmu yang digelutinya. Macam-macam buku yang ada di rumah, dari mulai buku-buku seputar tafsir, hadits, tasauf, sampai filsafat menghiasi lemari buku di rumah. Yang hampir tidak ada itu buku mengenai sains, ekonomi pun tidak ada.

Mulai Berkeluarga
Sejak muda, berdasarkan pengakuannya ayah saya itu belum pernah pacaran. Ya soal perempuan beliau lurus-lurus saja, seperti saya sekarang. Beliau kenal ibu saya itu dikenalkan oleh temannya, Pak Dudung namanya. Ya kebetulan masih satu SMA dulu, ibu saya cerita bahwa sebenarnya ketika itu dia sudah mau dijodohkan oleh seorang ustad dengan orang lain, namun beliau tidak mau dan lebih memilih ayah saya. Saya sebagai anak bersyukur, mungkin kalau ibu saya memilih orang lain saya gak bakal ada sekarang di dunia ini.

Mereka akhirnya menikah, saya kurang tahu dimana mereka persisnya menikah, yang pasti di rumah, bukan di gedung. Ibu saya ini perawakannya kecil, sehingga pada saat menikah, saudara-saudara menggodanya dengan sebutan "panganten leutik" (pengantin kecil). Ibu saya lulusan D3 UPI, dan berprofesi menjadi guru PNS sampai kini. Dari kecil memang ibu saya sudah bercita-cita menjadi guru, cita-citanya tercapai, dan sampai sekarang menjadi guru di SMP Cileunyi 2.

Pada awal masa-masa menikah, dan setelah saya lahir pada tahun 93, ibu saya ditugaskan untuk mengajar di Cianjur. Akhirnya saya menghabiskan masa balita disana, ayah saya dikarenakan dosen di IAIN, seminggu sekali pulang pergi Cianjur Bandung. Sampai pada tahun 1997 kami pindah ke perumahan Sukup Baru di Bandung, ayah saya mengontrak rumah. Disana saya mulai belajar mengaji dan bersekolah. Lalu pada tahun 2001 ayah saya membangun rumah sederhana di Komplek Permata Biru Cinunuk dengan KPR BTN. Kami pindah dari sukup ke permata biru dan sampai sekarang alhamdulillah rumah ini sudah lunas dan kami tinggal disini.

Setelah menikah, ayah ibu saya dikaruniai anak pertama yang berjenis kelamin laki-laki yaitu saya. Lalu hampir 2 tahun setelahnya dikarunia anak lagi yaitu adik saya, kali ini anak perempuan. Mereka menamainya Maryam Nahlah Mufidah. Saya dan adik saya ini hidup berdua sebagai adik kakak dalam waktu yang lumayan lama, sampai pada sekitar awal tahun 2000an ibu saya hamil lagi. Namun anak yang ketiga ini meninggal saat masih dalam perut ibu saya. Lalu pada tahun 2002 ibu saya hamil lagi dan lahirlah anak laki-laki yang dinamai Muhammad Syawwaludin. Pada tahun 2006, lahirlah si bungsu yang ternyata laki-laki lagi diberi nama M. Tanwirul Hayah. Jadilah kami 4 bersaudara.

4 Bersaudara ini mempunyai sifat yang berbeda-beda, kalau saya ini pendiam, introvert. Kalau adik saya yang perempuan ini pemberani, dan suka dengan aktivitas-aktivitas fisik. Adik saya yang kedua yaitu Aldin bandel, suka bikin ketawa orang namun pinter. Dan si bungsu ini mempunyai jiwa leadership dan sosialisasi yang bagus. Sekarang saya kuliah semester 6 di STEI Takia Bogor, adik saya semester 4 di psikologi UIN Bandung, lalu 2 adik saya yang terakhir kelas 5 dan kelas 1 SD.

Saat menjadi kepala keluarga ayah saya ini seorang yang bijak, sesekali dia marah namun tidak pernah membabibuta. Kalau pulang kerja suka membawa makanan yang membuat kami senang. Yang jelas beliau mendidik dengan keteladanan dan kasih sayang, tidak terlalu banyak bicara.

Kiprah di Muhammadiyah
Selain kesibukannya sebagai dosen dan kepala keluarga, ayah saya pun masih aktif di Muhammadiyah. Yang saya ingat beliau pernah menjadi ketua PC Muhammadiyah CIbeunying Kidul, Ketua Majelis Tabligh PDM Kota Bandung, Ketua Majelis Tabligh PWM Jawa Barat dan sekarang beliau menjadi Bendahara Umum PWM Jawa Barat. Selama di Muhammadiyah pun beliau sangat sering diundang untuk mengisi ceramah umum atau mengisi perkaderan, tentu masih di lingkup Jawa Barat. Beberapa waktu yang lalu kalau beliau diundang saya suka ikut, ya lumayan bisa jalan-jalan, terus dapat ilmu dari beliau, dan biasanya kan kalau orang diundang ceramah pas udahnya suka diajak makan, nah saya juga ikut makan. Makanya senang sebenarnya punya ayah ustad itu, bisa jalan-jalan dan makan gratis. hehe..

Selama menjadi ketua PCM Cibeunying Kidul, ada beberapa hasil yang beliau torehkan, diantaranya perluasan lahan SMA Muhammadiyah 3 Bandung. Pimpinan-pimpinan sebelumnya belum berhasil membebaskan lahan dan beliau berhasil bernegosiasi dengan pemilik lahan agar mau dibeli, jadilah SMP Muhammadiyah 3 bertambah luas. Lalu sempat juga ada program Kristenisasi, PCM Cibeunying Kidul mengantisipasinya dengan mengadakan infak keluarga, sehingga para warga disana bisa saling membantu secara ekonomi dan tidak tergiur dengan bantuan orang-orang nasrani. Lalu di PCM Cibeunying Kidul itu punya amal usaha panti asuhan, pada awalnya anak-anak hanya dibiayai sampai SMA saja, ayah saya bilang tanggung kalau hanya sampai SMA, sekalian saja sampai kuliah. Akhirnya di masa kepemimpinan ayah saya anak-anak panti itu diusahakan untuk bisa kuliah, ternyata salah satu anak yang dulu disekolahkan di panti itu sekarang satu kelas dengan ayah saya yang sedang menyelesaikan S3, luar biasa.

Setelah berkiprah di PCM Cibeunying Kidul, ayah saya berkiprah di Majelis Tabligh dan Dakwah Khusus (MTDK) baik di tingkat Kota Bandung lalu di tingkat Jawa Barat. Majelis ini memang sudah sangat pas untuk ayah saya dikarenakan passion beliau adalah sebagai mubaligh. Saya kurang tahu kiprah beliau saat menjadi majelis ini bagaimana saja, yang jelas beliau pernah menulis modul GJDJ (Gerakan Jamaah Dakwah Jamaah) yang diterbitkan PDM Kota Bandung. Yang saya tahu ya kiprah beliau itu mengisi ceramah dan training, tentu dengan materi-materi yang mencerahkan.

Ajaran-ajaran Beliau
Kalau saya mendengar ceramah beliau, rasanya bagai tersihir dikarenakan retorika yang mempesona dan materi yang sederhana namun berbobot. Saya berfikir kalau saja ayah saya ini dulu mesantren, lalu tinggal di Jakarta, beliau bisa menyaingi Cak Nur, Quraish Shihab, dll. Namun mungkin memang beliau lebih memilih jadi orang yang biasa-biasa saja, fokus menjadi dosen, berMuhammadiyah dan mengurus keluarga saja.

Ada beberapa materi yang selalu saya ingat dalam ceramahnya, yaitu tentang menuntut ilmu. Dia bilang, jangan takut menuntut ilmu setinggi apapun, jangan takut tersesat. Orang berilmu itu sekalipun tersesat, dia akan tahu jalan pulang. Tapi orang yang ahli ibadah saja namun tidak punya ilmu, maka suatu saat dia bakal tersesat juga. Beliau mengutip sebuah kisah dalam kitab manaqib Syaikh Abdul Qadir Jailani. Jadi ceritanya, ada seorang alim yang sangat rajin ibadah, hampir seluruh hidupnya dihabiskan untuk ibadah. Suatu malam, datanglah sebuah cahaya kepada orang tersebut, lalu cahaya itu bersuara, "saya adalah Allah, kamu sudah banyak sekali beribadah, oleh karena itu kamu lulus, kamu gak perlu beribadah lagi dan boleh maksiat." Si ahli ibadah yang tidak berilmu ini mengucapkan, "alhamdulillah", dia senang karena merasa sudah lulus dari ibadah. Nah, si cahaya ini datang juga kepada Syaikh Abdul Qadir Jailani dengan perkataan yang sama, karena Syaikh Abdul Qadir ini punya ilmu, maka dia membalas cahaya ini dengan mengatakan, "A'uudzubillahi minasysyaithaanirrajiim". Syaikh Abdul Qadir tahu bahwa cahaya itu adalah setan yang menyamar jadi Allah. Ya akhirnya dia tidak tertipu sebagaimana ahli ibadah yang pertama tadi.

Dari ajarannya ini saya tumbuh menjadi seorang yang senantiasa terbuka terhadap keilmuan apapun. Saya tidak pernah tidak mau menuntut ilmu hanya karena orang mengatakan bahwa menuntut ilmu tersebut kafir dsb. Ada sih ilmu yang gak mau saya tuntut, ilmu sihir, hehe.. Tapi selain ilmu sihir dan yang mistik-mistik, saya selalu terbuka. Tahu gak, kalau zaman dulu para ulama Indonesia pernah mengharamkan belajar Bahasa Inggris? Dikarenakan bahasa Inggris adalah bahasa orang kafir? Tapi kenyataannya sekarang tak ada satupun ulama yang mengharamkan bahasa Inggris. Boleh jadi yang sekarang diharamkan, di masa depan justru dianggap sebagai yang lumrah, seperti halnya bahasa Inggris tadi.

Selain mengenai menuntut ilmu, beliaupun sering memberikan ceramah mengenai silaturahim. Namun agak berbeda dengan pengertian silaturahim yang konvensional, beliau mengartikan agak beda. Bagi beliau, berdasarkan sebuah hadits qudsi, silaturahim pada hakikatnya adalah memberi. Jadi kan Allah memberi kasih sayang kepada kita, nah, kita sambungkan lagi kasih sayang Allah kepada orang lain. Itulah yang menurut beliau sebagai silaturahim. Beliau suka mengutip syair Iwan Fals, "Ada benarnya nasehat orang-orang suci, memberi itu terangkan hati, seperti matahari yang menyinari bumi".

Beliau bilang silaturahim itu artinya menyambungkan rahim, rahim itu salah satu nama Allah yang juga menjadi nama organ biologis perempuan. Coba perhatikan rahim, rahim itu senantiasa memberi kehidupan pada janin, walaupun janin pada hakikatnya tidak memberi apapun pada rahim. Rahim masih bisa hidup tanpa ada janin di dalamnya, namun janin tidak mungkin hidup tanpa ada rahim. Begitulah ajaran silaturahim yang berarti ajaran welas asih dan kasih sayang universal.

Kalau kita masih memberi kasih sayang kepada orang lain yang kita butuh kepadanya, misalkan kepada pacar kita karena ingin disayang, kepada atasan karena ingin naik jabatan, kita belum mengamalkan sifat rahim. Namun kalau kita memberi kasih sayang kepada orang yang kita tidak butuh dia, bahkan kita benci, maka inilah sifat rahim.

Sebenarnya masih banyak materi yang beliau berikan saat ceramah, namun baru dua itu saja yang saya share.

Epilog
Tanggal 12 Maret 2014 ini adalah tepat ayah saya berulang tahun yang ke-50. Wilujeng Tepang taun, selamat ulang tahun, miilaad mubaarak, happy birthday.. Mudah-mudahan diberi kesehatan, usia yang panjang dan berkah serta bisa senantiasa memberi manfaat bagi orang lain. Aamiin..

Posting Komentar untuk "Biografi Singkat Pak Karman"